Perekonomian Thailand berada dalam bayang-bayang resesi. Hal ini disebabkan tingginya tingkat utang rumah tangga yang terdiri dari utang konsumen dan pinjaman hipotek.

Informasi tersebut diungkap oleh seorang Wakil Menteri Thailand pada Senin, (29/1/2024). Tingginya tingkat utang rumah membuat pemerintah menekan bank sentral Thailand menurunkan tingkat suku bunga.

Guna mengatasi resesi, Wakil Menteri Keuangan Thailand, Julapun Amornvivat, mengatakan pemerintah berkomitmen melaksanakan rencana pemberian dana bantuan sosial sebesar US$ 14 miliar atau Rp 221 triliun (Rp 15.814) kepada 50 juta warga.

Masing-masing warga akan mendapat bansos sebanyak Rp 4,443,734. Ia berharap program bansos meluncur dalam waktu dekat.

Julapun kemudian mengatakan, bahwa suku bunga Thailand berada dalam tingkat tertinggi selama satu dekade terakhir. Nilai suku bunga menyentuh angka 2,50%, alhasil, tingkat suku bunga menurutnya harus dipotong untuk menurunkan biaya pinjaman yang tinggi.

“Angka tersebut harus diturunkan karena tingginya tarif sekarang menjadi beban masyarakat. Masyarakat tidak dapat bertahan hidup,” katanya dikutip dari Reuters, Senin (29/1/2024).

“Kalau ditanya, sekarang sudah pada level berbahaya. Semacam resesi ekonomi,” sambungnya.

Julapun kemudian menambahkan, bahwa situasi tersebut didorong oleh tingginya beban utang rumah tangga dan sektor swasta.

“Sulit untuk mendorong perekonomian maju. Itu sebabnya kita melihat pertumbuhan ekonomi selalu lamban,” jelasnya.

Selain bansos, Julapun menjelaskan pemerintah berencana menerbitkan obligasi di luar negeri dalam satu atau dua tahun ke depan dalam dolar, yuan, dan yen, untuk menciptakan tolak ukur bagi dunia usaha dalam mengumpulkan dana.

Dia mengatakan akan ada penjualan obligasi tabungan pemerintah senilai sekitar US$ 2,8 miliar atau Rp 42 triliun. Pada fase pertama, yang diwacanakan terlaksana Maret 2024, pemerintah akan menjual sekitar US$ 1,1 miliar atau Rp 17,7 triliun obligasi.

Setali tiga uang, Perdana Menteri Thailand Sretta Thavisin, pun mendesak bank sentral menurunkan suku bunga untuk membantu negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara tersebut. Menurutnya, Thailand sedang mengalami krisis.

Menanggapi hal itu, Gubernur Bank Sentral Thailand Sethaput Suthiwartnarueput, menjelaskan bahwa bahwa pertumbuhan ekonomi memang lebih lambat dari perkiraan, namun tidak dalam krisis. Ia mengatakan kebijakan suku bunga Thailand saat ini “secara umum netral”.

Sejak November 2023, Bank Sentral Thailand masih mempertahankan tingkat suku bunga di angka 2,50%, meningkat sebesar 200 basis poin sejak Agustus 2022 untuk mengendalikan inflasi.

Pada pekan lalu, pemerintah Thailand pun memangkas proyeksi pertumbuhan mereka untuk 2024 dari 3,2% menjadi 2,8%. Hal ini dikarenakan melemahnya ekspor dan menurunnya jumlah wisatawan asing ke Thailand.

Sumber: detikcom