Jangka waktu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berlaku berlaku saat ini sekitar 15-20 tahun dinilia terlalu pendek. Hal tersebut dipandang sebagai salah satu penyebab tingginya cicilanan bulanan yang harus dibayarkan nasabah pembeli rumah dengan skema KPR.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Herry Trisaputra Zuna menuturkan, tingginya cicilan bulanan bisa diatas bila tenor KPR diperpanjang.

“Sekarang begini, kenapa banyak yang nggak sanggup membeli rumah itu, karena cicilan bulanannya masih memberatkan. Cicilan memberatkan, karena tenornya pendek. Ini yang sedang kita kaji, bagaimana tenor bisa diperpanjang sehingga cicilan bulanan KPR-nya bisa lebih terjangkau,” tutur Herry TZ saat berbincang dengan detikcom belum lama ini.

Herry menjelaskan, skema serupa sudah diterpkan dan telah berhasil di Jepang. Beberapa waktu lalu, memang Indonesia lewat BP Tapera baru saja menjalin kerja sama dengan Japan Housing Finance Agency (JHF) dalam rangka pertukaran informasi terkait penelitian dan program yang terkait dengan instrument keuangan untuk mengoptimalkan penyediaan rumah terutama bagi rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah.

Herry mengatakan, dari hasil diskusi dengan JHF, salah satu produk pembiayaan perumahan yang sudah berlaku di Jepang dan bisa diadopsi di Indonesia adalah Flat 35.

“Flat 35 itu adalah tenornya 35. Kalau kita 15-20 tahun, kalau mereka bikin sampai 35 tahun,” tutur Herry.

Dengan tenor yang panjang itu, lanjut Herry besaran cicilan KPR akan lebih ringan. Hal itu menurut dia, bisa menjawab tantangan tingginya cicilan KPR yang harus dibayarkan masyarakat setiap bulannya untuk memiliki rumah.

“Sekarang itu masalah di kita affordability. Karena tenornya pendek, cicilanya tinggi. Kalau tenornya diperpanjang apa akibatnya? Cicilannya akan lebih rendah. Kalau sanggup nyicil, mereka pasti akan berani beli,” jelasnya.

Nantinya, bukan hanya tenor yang panjang, kebijakan di Jepang juga memungkinkan pembiayaan KPR dengan cicilan tetap selama masa kredit.

“Jadi Flat 35 itu tenornya 35 tahun. Kemudian ‘Flat’ itu cicilannya flat (tetap). Jadi bapak ibu nggak perlu lagi mikirin bulan depan cicilan saya naik,” kata Herry.

Herry melanjutkan, adopsi kebijakan tersebut tentu membutuhkan ekosistem pembiayaan perumahan yang matang. Baik dari sisi penyediaan pembiayaan, hingga sekama penyaluran yang tepat. Lewat kerja sama dengan JHF tadi, Herry berharap agar kebijakan Flat 35 seperti yang berlaku di Jepang bisa segera diterapkan di Indonesia.

“Ini kerja sama jangka panjang. Tapi harapannya, product development (pengembangan produk kebijakan) selesai di 2024. Kalau bisa, 2025 kita bisa mulai piloting (percontohan),” simpulnya.

Editor: PARNA

Sumber: detik.com