Impotensi atau juga dikenal dengan istilah disfungsi ereksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat dialami oleh pria.

Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Nur Rasyid memaparkan definisi disfungsi ereksi atau impotensi adalah ketidakmampuan untuk mencapai ereksi cukup dan mempertahankannya sehingga hubungan seksual jadi memuaskan.

Sedangkan, ereksi sendiri merujuk pada proses kompleks terkait sistem saraf, hormon (endokrin) dan sistem pembuluh darah (vaskular).

Berdasarkan riset pada 2013, yang dilakukan pada mereka yang mengantar pasien, prevalensi disfungsi ereksi rata-rata secara global sekitar 10 persen.

Sedangkan di Indonesia, Nur dan tim di RSCM menemukan prevalensi disfungsi ereksi mencapai 36,6 persen pada pria di rentang usia 20-80 tahun.

Menurut Nur, angka ini cukup besar. Bahkan sebagian besar pasien ternyata membawa penyakit bawaan yang juga mempengaruhi kondisi disfungsi ereksi.

Ia juga mencatat bahwa angka prevalensi ini sebenarnya bervariasi menurut usia. Makin bertambah usia, makin besar prevalensi disfungsi ereksi.

Lalu apa saja penyebab disfungsi ereksi atau impotensi?

– Pertambahan usia
– Diabetes melitus
– Hipertensi
– Penyakit kardiovaskular
– Kebiasaan merokok
– Stres
– Kerusakan saraf atau tulang belakang
– Konsumsi alkohol rutin dan jumlahnya banyak
– Kadar hormon testosteron rendah
– Pengobatan tertentu
– Kondisi urologi termasuk penyakit prostat

Meski berkaitan dengan kehidupan seksual dan keharmonisan dalam keluarga, tapi hanya 50 persen orang memiliki pengetahuan mengenai disfungsi ereksi. Bahkan, ungkap Nur, justru pasangan atau perempuan yang lebih memahami tentang disfungsi ereksi.

Diagnosis dan terapi

young asian couple with relationship problem appear depressed and frustrated.Foto: iStockphoto/imtmphoto
ilustrasi impotensi

Untuk mengetahui gejala impotensi atau disfungsi ereksi, Nur mengatakan ada serangkaian tes yang perlu dilakukan.

Ereksi bisa dinilai dari tingkat kekerasannya. Biasanya terdapat skor 1-4, di mana skor 4 merupakan skor ereksi optimal.

Namun, laki-laki tidak harus mencapai skor 4 karena di skor 3 pun penetrasi tetap bisa dilakukan. Sedangkan skor 1 dan 2, saat penis dinilai tidak memungkinkan untuk penetrasi, yang kemudian disebut sebagai disfungsi ereksi.

Pemeriksaan disfungsi ereksi akan berlanjut jika ada kondisi tertentu termasuk riwayat trauma pada panggul, kelainan bentuk penis, kelainan hormon dan metabolisme kompleks juga ada kelainan psikoseksual kompleks.

Karena ini berkaitan dengan kondisi psikis, maka juga ada tes untuk mengetahui pasien mengalami disfungsi ereksi organik atau psikogenik. Tes tersebut dilakukan menggunakan alat Nocturnal Penile Tumescence and Rigidity atau ereksi nokturnal.

“Selama tidur, alat dipasang untuk mengetahui berapa kali penis mengalami ketegangan, apa cukup? Oh kalau cukup berarti organik bagus,” papar Nur.

Dia lanjut mengatakan, “Kadang ada pasien yang merasa sehat tapi saat dibuktikan dengan alat ternyata organnya enggak bagus. Atau organnya bagus tapi vena (berhubungan dengan penutupan pembuluh darah) enggak bagus.”

Sementara itu untuk terapi disfungsi ereksi, dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan.

Dari yang awalnya melalui operasi atau implantasi pada 1973, lalu berkembang lewat injeksi, alat vakum, obat viagra, hingga belakangan hadir terapi gelombang kejut.

1. 1973 – penile prosthesis, di masa ini terapi disfungsi ereksi hanya berupa operasi atau implantasi.

2. 1982 – intracavernosal administration of vasoactive drugs, terapi berupa injeksi. Saat pasien disuntikkan obat, penis bisa langsung ereksi. Hingga kini masih digunakan meski jarang.

3. 1983 – vacuum, atau alat penghisap dan bisa digunakan pasien secara mandiri setelah diberikan edukasi oleh tenaga medis.

Alat mirip tabung untuk dimasukkan penis, setelah divakum, penis seperti diikat dengan karet. Alat ini cukup populer di Eropa dan Amerika. Meski ada ereksi instan, penggunaan alat ternyata lebih memberikan kepuasan pada pasangan, bukan pada pemakainya.

4. 1998 – terdapat obat minum yang dikenal dengan nama viagra. Dulu viagra hanya diminum sebelum berhubungan seks. Namun kini perkembangannya ada obat dengan dosis lebih kecil dan dikonsumsi harian.

Akan tetapi konsumsi obat musti sesuai petunjuk dokter. Apalagi obat memiliki kontraindikasi dengan obat golongan nitrat. Biasanya obat untuk penyakit jantung termasuk golongan nitrat.

5. 2013 – Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT), terapi gelombang kejut untuk memperbaiki pembuluh darah. Terapi terutama digunakan pada pasien disfungsi ereksi akibat gangguan aliran darah penis karena penyakit tertentu seperti hipertensi dan diabetes.

Nur menambahkan terapi disfungsi ereksi lain juga berupa prostesis penis. Ini jadi lini terakhir terapi saat terapi lain sudah tidak bisa membantu.

Ia berkata secara sederhana penanganan atau terapi disfungsi ereksi biasanya diutamakan edukasi seks, baru kemudian minum obat.

Jika tidak terjadi perubahan dilakukan beberapa pilihan terapi seperti vakum, injeksi atau gelombang kejut.

Pilihan terapi tetap disesuaikan dengan harapan pasien. Nur menekankan harapan ini tentu saja mesti riil atau sesuai dengan kondisi sebenarnya. Namun harus diakui bahwa fungsi atau kemampuan seksual yang baik mampu mendorong perasaan sehat secara keseluruhan.

“Laki-laki usia lanjut dan masih ada kemampuan seksual mempunyai perasaan sehat lebih baik. Ternyata kesehatan seksual itu kesannya tidak seks saja, tapi juga kesehatan secara umum,” imbuhnya.

Editor : Aron
Sumber : cnnindonesia