Studi dari UNICEF menunjukkan bahwa 98% anak-anak dan remaja tahu mengenai internet dan 79,5% di antaranya merupakan pengguna internet. Hal ini termasuk penggunaan media sosial yang juga semakin umum bagi anak-anak. Lantas apakah media sosial berbahaya bagi kesehatan mental anak?

Mengutip laman BBC Science Focus, kebanyakan anak-anak atau remaja menggunakan media sosial adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain, melakukan hobi mereka dan menyebarkan informasi dengan cepat. Hal ini juga termasuk memberikan respon atau tanggapan terhadap suatu informasi.

Namun, terkait hubungan antara kesehatan mental anak dengan penggunaan media sosial, studi tidak menemukannya.

Seberapa Besar Kaitan Penggunaan Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Anak?
Survei kesehatan mental secara global oleh Vuorre dkk, menjelaskan bahwa dari penelitian selama 18 tahun di 168 negara tidak menunjukkan adanya hubungan sebab akibat dari penggunaan internet dan kesejahteraan generasi muda.

Data survei juga menunjukkan bahwa 99,6% kesejahteraan anak tidak berhubungan dengan internet selama beberapa waktu yang dihabiskan anak pada perangkatnya.

Meski begitu, diketahui bahwa pengguna media sosial berusia 10 sampai 20 tahun akan meningkat, jika kesejahteraan hidup menurun. Tetapi, hal ini belum tentu jika semakin banyak seorang anak menghabiskan waktu di media sosial, kesejahteraan hidupnya menurun.

Sejauh ini, hanya sedikit bukti yang mengatakan bahwa media sosial menyebabkan masalah kesehatan mental pada anak-anak.

Menurut peneliti, fakta ini memberi implikasi bahwa melarang anak bermain media sosial menjadi kurang masuk akal karena tidak ada pengaruh yang kuat untuk kesehatan mereka.

Bagaimana Jika Anak-anak Menjadi Kecanduan Media Sosial dan Smartphone?
Direktur Kesehatan Perilaku Jefferson Health-Abington, Nancy DeAngelis, mengatakan bahwa media sosial memang dirancang untuk ‘memikat’ otak manusia.

“Media sosial dirancang untuk memikat otak kita. Remaja menjadi kalangan yang sangat rentan terhadap kecanduan media sosial ini,” katanya.

Hal ini diperkuat dengan temuan studi yang terbit di Journal of American Medical Association (JAMA), yang menunjukkan bahwa remaja menggunakan media sosial lebih dari 3 jam per hari dan berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental.

Terlebih sejak pandemi, terjadi peningkatan depresi dan kecemasan di kalangan remaja.

Psikolog sekaligus pendiri Pusat Kecanduan Internet dan Teknologi di West Hartford, David Greenfield, juga mengatakan bahwa smartphone memikat pengguna menggunakan sejumlah trik ampuh.

Salah satunya adalah penguatan intermiten yang menciptakan gagasan bahwa pengguna bisa mendapat hadiah kapanpun.

“Sama seperti mesin slot. Pengguna diberi isyarat dengan lampu dan suara, tapi yang lebih hebat lagi adalah informasi dan hadiah disesuaikan dengan minat dan selera pengguna,” ujar Greenfield.

Nancy juga mengungkapkan hal yang berkaitan dengan ‘penghargaan’ yang dimaksud oleh Greenfield, bahwa media sosial dapat meningkatkan dopamin ke otak untuk membuat penggunanya mengunjungi media sosial terus menerus.

“Adanya fitur suka, bagi, dan komentar, dapat memicu pusat otak kemudian dianggap hal tersebut sebagai suatu penghargaan,” ungkapnya.

Jadi, orang tua memegang peran penting kaitannya dengan penggunaan media sosial pada anak. Idealnya, orang tua harus terlibat.

Orang tua harus membantu anak untuk mengatur sendiri perilakunya, sehingga membantu mereka mempersiapkan diri menghadapi masa dewasa.

“Jika kita melarang media sosial untuk anak-anak atau ponsel pintar, maka hal ini akan tetap ada ketika mereka tumbuh dewasa dan penting bagi mereka untuk memperoleh keterampilan untuk mengelola penggunaan media sosial tersebut di masa depan,” tutur para peneliti.

Editor: PARNA
Sumber: detik.com