Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto angkat bicara perihal surat pernyataan dari ratusan dosen di kampusnya yang menolak pemberian gelar guru besar kehormatan (honorary professor) untuk kalangan nonakademik.

Sigit merupakan salah satu dari 343 dosen asal 14 fakultas di UGM yang menolak pemberian gelar profesor kehormatan untuk kalangan nonakademik melalui sebuah surat pernyataan sikap tertanggal 22 Desember 2022.

Sigit menerangkan surat tersebut muncul atas respons wacana pemberian gelar Guru Besar Kehormatan kepada Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

“Teman-teman di fakultas ekonomi itu kan ada pembahasan tentang rencana pemberian guru besar kehormatan itu,” kata Sigit saat dihubungi, Rabu (15/2/2023).

Wacana pemberian guru besar kehormatan kepada Perry itu, menurut Sigit, didahului atau didasarkan pada terbitnya Peraturan Rektor UGM Nomor 20/2022 tentang Tata Cara Pengangkatan Profesor Kehormatan yang ditetapkan Rektor UGM Ova Emilia 29 Agustus 2022.

Terbitnya Peraturan Rektor ini mempertimbangkan implementasi ketentuan Pasal 10 Permendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.

“(Rencana pemberian gelar guru besar kehormatan kepada Perry) menimbulkan resistensi atau penolakan. Sehingga, teman-teman dosen yang rasional, yang berpikir bahwa marwah akademis UGM harus dijaga itu membuat pernyataan atau petisi itu,” lanjut Sigit.

Sigit menekankan, surat pernyataan tersebut dibuat agar pihak rektorat mempertimbangkan kembali wacana pemberian gelar guru besar kehormatan tadi demi menjaga marwah, standar, dan etika akademik.

Ia pun mempersilakan untuk langsung menanyakan kepada pihak rektorat perihal sejauh mana rencana pemberian gelar guru besar kehormatan kepada Perry kini berjalan. Namun, dia meyakini langkah dari UGM ini bisa saja dimaksudkan untuk ‘cek ombak’.

“Itu menjadi trigger untuk yang lain, atau sebagai test the water. Kalau satu berhasil kan nanti yang lain bisa cepat menetap,” katanya.

Dalam keterangan terpisah, Sigit mengatakan Peraturan Mendikbud Ristek No 38 Tahun 2021 menegaskan kriteria bagi profesor kehormatan. Antara lain, memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia; memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa; memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.

Menurut Sigit, mereka yang diangkat dalam jabatan tersebut semestinya individu yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya, pengalaman, dan reputasi yang relevan bagi pengembangan iptek dan kontribusi keilmuan.

Ia berpandangan, dalam beberapa tahun terakhir regulasi tentang dosen tidak tetap dan profesor kehormatan menjadi rujukan dan justifikasi pengangkatan profesor kehormatan. Hal tersebut dinilai sudah dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia.

Lanjutnya, muncul kekhawatiran interpretasi terhadap kaidah normatif dilakukan secara subyektif, sesuai kepentingan para pihak terlibat di dalamnya. Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan, didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi.

“Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola Pendidikan Tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan. Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot,” tulisnya.

Sebelumnya, ratusan dosen UGM lewat sebuah surat pernyataan menyatakan penolakan terhadap kebijakan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada kalangan nonakademik.

Setidaknya ada enam poin yang disampaikan melalui surat tertanggal 22 Desember 2022 tersebut.

Pada poin pertama pernyataan bahwa profesor bukanlah gelar, namun jabatan yang wajib menjalankan kewajiban-kewajiban akademik. Sehingga, tak memungkinkan apabila dilaksanakan oleh individu dari kalangan non akademik.

“Pemberian gelar Honorary Professor (guru besar kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor nonakademik tidak sesuai dengan asas kepatutan–we are selling our dignity (menjual harga diri kami),” tulis poin kedua pada surat tersebut.

Pihak rektorat UGM membantah ada wacana memberikan gelar guru besar kehormatan (honorary professor) kepada tokoh nonakademik atau pejabat publik.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito mengklaim kampusnya saat ini justru sedang mengkritisi aturan Permendikbud Ristek soal pemberian gelar guru besar kehormatan kepada kalangan nonakademik.

Selain mengkritisi, lanjut Arie, UGM juga tidak sedang mengimplementasikan ketentuan dari Permendikbud Ristek Nomor 38 Tahun 2021 itu.

“Lah, itu kan peraturan menteri, UGM enggak menerapkan kok dan tidak memproses kok. UGM lagi mengkritisi peraturan menteri itu lalu memberi input ke menteri,” kata Arie melalui pesan WhastApp kepada wartawan, Rabu (15/2).

“UGM tidak sedang memproses usulan guru besar kehormatan. Kita lagi fokus mengkaji dan mengkritisi peraturan menteri tentang profesor kehormatan itu,” katanya.

Editor: HER

Sumber: cnnindonesia