JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI, Djarot Saiful Hidayat mengatakan pihaknya masih melakukan kajian secara mendalam mengenai kemungkinan penerapan pemilihan kepala daerah atau Pilkada menggunakan sistem asimetris.

Hal itu ia sampaikan untuk merespon pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang berencana melakukan evaluasi Pilkada langsung beberapa waktu lalu.

“Masih ada beberapa diskusi ya kajian mendalam [soal Pilkada Asimetris]. Tapi rasanya pilkada langsung selama ini sejak tahun reformasi, emang harus dievaluasi secara mendalam,” kata Djarot di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).

Lebih lanjut, Djarot menjelaskan Pilkada Asimetris itu nantinya memungkinkan perbedaan pelaksanaan mekanisme Pilkada, baik secara langsung maupun tak langsung di tiap-tiap wilayah Indonesia. Perbedaan pelaksanaan itu nantinya bisa diidentifikasi sesuai dengan kondisi objektif di masing-masing wilayah.

Ia menyatakan bahwa wilayah yang dapat menggunakan sistem pilkada langsung hanya digelar pada tingkat kabupaten/kota saja. Sementara untuk Pilkada tingkat provinsi digelar pemilihan secara tak langsung.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu beralasan bahwa sudah sepatutnya Pilkada tak digelar di tingkat provinsi. Sebab, kata dia, titik berat otonomi daerah sendiri berada di tingkat kabupaten/kota dan bukan ditingkat provinsi.

“Kalau asimetris melihat sistem pemerintahan kita otonomi itu ada di level kota kabupaten. Sedangkan untuk provinsi tidak, provinsi itu adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dari dulu ada pembicaraan kajian bagaimana kalau untuk gubernur dan wakil gubernur itu dipilih DPRD,” kata dia.

Melihat hal itu, Djarot mengatakan jalannya pemerintahan di tingkat provinsi akan makin efisien bila pilkada secara asimetris akan dilakukan.

Ia lantas membandingkan perbedaan antara pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang akan menggantikan Sandiaga Uno saat ini sangat lama untuk ditemukan penggantinya. Kondisi itu berbanding terbalik saat dirinya diangkat sebagai Wagub DKI pada 2014 silam yang sangat cepat.

Djarot mengatakan saat dirinya diangkat sebagai Wagub, Kemendagri masih menggunakan mekanisme pengangkatan mengacu pada UU No.1/2015 dan PP 102/2014. Aturan itu memberi wewenang penuh kepada Gubernur untuk mengangkat Wagub.

“Jadi tanpa ada pemilihan di DPRD, langsung dikirim ke presiden, tiga bulan ada wakil. Nah Sekarang bandingkan dengan Pak Anies dan Pak Sandi, hampir dua tahun belum. Padahal di Jakarta posisi wakil itu penting,” kata dia.

Menurutnya, proses pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia sendiri bisa diterapkan melalui Pilkada secara langsung maupun melalui sistem perwakilan melalui DPRD.

Menurutnya, kedua mekanisme itu sama-sama bertujuan untuk memilih dan melahirkan pemimpin daerah yang layak dan berkompeten dalam melayani masyarakat.

Lebih lanjut, Djarot mengatakan hasil evaluasi pilkada langsung itu tak bisa diterapkan pada tahun 2020 ini. Ia pun menargetkan evaluasi itu bisa diterapkan pada Pilkada serentak tahun 2024 mendatang.

“2024 kita pemilu itu ada pertama pilkada, kemudian pemilihan legislatif, presiden dan DPRD. Jadi ada tiga pemilu yg dilaksanakan dalam waktu satu tahun, bukan bersamaan ,bisa pingsan kau,” kata dia.

 

Editor: PARNA

Sumber: CNN Indonesia