Ilustrasi cinta. Foto: Shutterstock/

Simbol cinta, hati, alias love, tidak mirip dengan jantung manusia. Padahal, ‘heart’ dalam Bahasa Indonesia berarti jantung. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu ada penjelasannya.

Melansir Big Think, peneliti beranggapan bahwa filsuf Yunani mungkin ada kaitannya. Menurut ahli bedah saraf dan penulis Belanda Pierre Vinken, ilustrasi paling awal dari simbol klasik berbentuk hati muncul dalam teks abad ke-13. Diperkirakan ini terinspirasi oleh deskripsi dari Aristoteles. Aristoteles percaya bahwa hati adalah tempat bersemayamnya jiwa, dan karena itu asal mula segala pikiran dan perasaan, termasuk cinta.

Sumber lain menyatakan bahwa logo hati klasik mewakili daun spesies adas raksasa yang disebut silphium yang sekarang sudah punah. Beberapa faktor diperkirakan menjadi dalang hilangnya tanaman ini pada abad ke-4.

Pliny the Elder menulis bahwa para peternak di masa itu memberikan makan ternak mereka dengan silphium untuk meningkatkan kualitas daging. Selain itu, antusiasme orang Romawi terhadap khasiat tanaman kemungkinan besar menyebabkan pemanenan berlebihan.

Padahal, Theophrastus (dikenal sebagai bapak botani), menyebut tanaman tersebut tidak dapat dibudidayakan dan hanya tumbuh di alam liar. Seiring berjalannya waktu, Afrika Utara menjadi semakin gurun dibandingkan lahan subur, dan tanaman ini pun punah.

Diketahui, silphium pernah tumbuh di sepanjang pantai Afrika Utara dan digunakan sebagai alat kontrasepsi oleh orang Yunani dan Romawi kuno. Sebelum mengenal kondom lateks, bangsa Romawi Kuno menggunakan kandung kemih atau usus domba dan kambing. Namun, komponen itu hanya berguna untuk mencegah penyakit kelamin, bukan untuk mencegah kehamilan.

Dari segi bentuk, benih silphium terlihat seperti logo cinta yang selama ini kita kenal. Keterkaitannya dengan hubungan intim kemungkinan membuatnya bersinggungan dengan perasaan cinta.

Editor: PARNA

Sumber: detik.com