Ilustrasi bendera Israel dan Iran. (iStockphoto/narvikk)

Serangan Israel ke salah satu konsulat Iran di Damaskus, Suriah memantik amarah bagi Teheran sehingga membalas aksi tersebut.

Gempuran berbalas tersebut menambah panas api ketegangan di wilayah Timur Tengah.

Padahal, Iran dan Israel dulunya merupakan negara yang tidak bermusuhan. Bahkan, Iran turut mengakui kedaulatan Israel pada 1950.

Lantas, kenapa Iran dan Israel kini menjadi musuh bebuyutan?

Iran merupakan negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa yang ikut dibentuk pada 1947 untuk merancang solusi pembagian wilayah Palestina setelah lepas dari kekangan kuasa Inggris.

Teheran yang saat itu dipimpin oleh Syah Mohammad Reza Pahlavi menentang rencana pembagian oleh PBB atas dasar khawatir konflik di wilayah tersebut meningkat.

“Iran, bersama India dan Yugoslavia, mengajukan rencana alternatif, solusi federatif yaitu mempertahankan Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen tetapi dibagi menjadi wilayah Arab dan Yahudi,” ucap sejarawan Universitas Oxford Eirik Kvindesland kepada Al Jazeera.

Kvindesland menambahkan bahwa Iran melakukan hal demikian untuk menjaga hubungan positif dengan negara Barat yang dianggap pro-Zionis.

Upaya Amerika Serikat membantu Iran untuk menumpas dalang kudeta pada 1953 membuat hubungan dengan Israel dan negara Barat menguat.

Syah yang mendapatkan kembali kekuasaan memutuskan untuk mengembangkan hubungan bilateral negaranya melalui kerja sama ekonomi, politik, hingga militer. Momen tersebut terjadi di tengah ketegangan antara Israel dengan negara-negara Arab pada 1960-1970.

Melansir dari New Arab, kerja sama militer Iran-Israel memuncak ketika terdapat sebuah dokumen yang bocor bahwa kedua negara sepakat untuk mengembangkan sistem rudal canggih di bawah kode nama ‘Project Flower’.

Dalam hal ekonomi pun hubungan antara Teheran dan Tel Aviv menjadi sangat penting dalam menyokong Israel yang masih berhadapan dengan konflik bersama negara-negara Arab.

Bahkan, kedua negara sepakat untuk mendirikan sebuah perusahaan internasional yang bernama Trans-Asiatic Oil dan berlokasi di Panama dan Swiss. Langkah tersebut dilakukan dua negara itu demi mendorong ekonomi Israel yang terkena embargo minyak dari beberapa negara Arab.

Runtuhnya hubungan kedua negara bermula dari ketegangan internal Iran seperti kaum sayap-kiri yang menentang pemerintahan Syah.

Ayatollah Khomeini yang menjadi tokoh politik di Iran kerap menentang perilaku Israel. Terlebih, ia juga mengeluarkan fatwa untuk melarang pengikutnya jika ada yang menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan Israel.

Namun, puncaknya terjadi pasca revolusi Iran pada 1979. Khomeini yang memimpin gerakan revolusi tersebut membawa perubahan yang baru bagi Iran hingga umat Islam di negara itu.

Iran memutus semua hubungan kerjasamanya dengan Israel. Bahkan, kedutaan Israel di Teheran diubah menjadi kedutaan Palestina.

Menurut penjelasan wakil presiden eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, Trita Parsi mengatakan bahwa Khomeini berusaha untuk memisahkan kepentingan Palestina dari tujuan politik negara-negara Arab yang pro-Barat.

“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif dalam masalah Palestina untuk menunjukkan kredibilitas kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat dalam posisi defensif,” ucap Parsi.

Sikap anti-Israel dan anti-AS menjadi salah satu hal yang memperkuat niat Iran untuk benar-benar memutus hubungan dengan Israel.

Menurut lembaga Think-Tank Wilson Center, terdapat perubahan drastis sikap Iran yang terjadi setelah menyatakan penolakannya terhadap Israel.

Hal tersebut melibatkan permasalahan internal pemerintah Iran yang mengalokasikan dana kampanye anti-Israel dan anti-AS yang masif dilakukan. Warga Iran pun tampak menekan pemerintah untuk berfokus pada situasi dalam negeri lebih dulu.

“Meskipun ada indoktrinasi anti-Israel yang intens, tampaknya bagi sebagian besar warga Iran, perhatian utama mereka adalah berfokus pada situasi dalam negeri Iran dan lingkungan terdekatnya, sementara Israel masih merupakan musuh jauh,” demikian tertulis dalam laporannya.

Kini, hubungan antara kedua negara tambah memanas usai sebuah serangan berbalas antar kedua negara. Terlebih, Iran yang mempunyai beberapa proksi kelompok militer di negara lain terang-terangan menolak perilaku Israel yang melakukan genosida terhadap warga Palestina.

Berkat kesepakatan dan kerja sama di masa lalu, Iran mampu mengembangkan berbagai jenis teknologi militer terkini. Teheran pun mampu menyaingi kekuatan militer Israel dan menempati di urutan ke-14 menurut data dari Global Firepower.

Hal tersebut turut membuat khawatir sejumlah negara Barat dan sekutu Israel akan potensi eskalasi yang terjadi imbas serangan berbalas tersebut.

Editor: PARNA

Sumber: cnnindonesia