Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) menolak rencana pemerintah yang akan melarang e-commerce menjual barang impor di bawah USD 100 atau sekitar Rp 1,5 juta.
Rencana tersebut nantinya akan tertuang di dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Ketua Umum APLE, Sonny Harsono, juga menyoroti rencana mengenai platform belanja online yang tidak boleh menjadi produsen. Selain itu juga soal pengenaan pajak yang sama antara barang impor dan UMKM.
“Poin pertama (rencana pelarangan e-commerce jual barang impor di bawah USD 100) harus dibatalkan, karena proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia,” ujar Sonny dalam keterangannya, Sabtu (5/8).
Menurut dia, jika hal itu dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam perdagangan internasional. Sonny menilai, cross-border trading oleh merchant luar negeri merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara.
Saat ini, UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN. Ia pun khawatir keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam.
“Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain,” ujar Sonny.
Dalam hal pemasukan negara, lanjut Sonny, sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog, untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce. Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN.
Asosiasi pun mengingatkan, apabila keran jalur resmi impor e-commerce cross-border ditutup, maka barang tersebut pasti akan diimpor secara ilegal.
“Karena tidak mungkin barang personal-use tersebut dimasukkan oleh importir, karena sifatnya yang mengikuti tren dan berubah-ubah contohnya aksesoris dan lain-lain, lebih jauh banyak UMKM memanfaatkan barang ini sebagai pelengkap produksi mereka,” jelas Sonny.
“Ditambah barang ekspor lintas negara UMKM kita bisa juga ikut terganggu, sebab yang selama ini mendukung, dalam hal ini memasarkan barang-barang ekspor cross-border e-commerce adalah para platform cross-border impor,” lanjutnya.
APLE meyakini bahwa sebenarnya yang menjadi permasalahan pokok adalah tentang meningkatkan competitive advantage agar produk-produk UMKM dalam negeri bisa bersaing.
“Namun kami menyayangkan solusi dari pemerintah berupa pelarangan yang tidak diterapkan secara menyeluruh, melainkan hanya kepada e-commerce cross-border,” pungkasnya. 
Editor: PARNA
Sumber: kumparan.com