Sebuah studi laboratorium menunjukkan bahwa varian baru virus Corona yang terdeteksi di Afrika Selatan (Afsel) bisa mengurangi efektivitas antibodi dari vaksin Corona Pfizer-BioNTech. Hal ini diungkapkan oleh pihak perusahaan vaksin tersebut.

Untuk membuktikannya, para ilmuwan dari Pfizer dan University of Texas Medical Branch (UTMB) mengembangkan virus rekayasa yang mengandung mutasi spike protein yang sama dengan varian Afsel yang dikenal sebagai B1351.

Selanjutnya, para ilmuwan menguji virus tersebut pada darah yang diambil dari orang yang telah divaksin. Hasilnya, mereka menemukan adanya penurunan efektivitas antibodi sebesar dua pertiga dan telah dipublikasi di New England Journal of Medicine (NEJM).

Namun, profesor UTMB sekaligus penulis studi Pei Yong Shi masih meyakini bahwa vaksin yang dikembangkan Pfizer ini mungkin bisa melindungi dari varian baru Corona tersebut. Sebab, sampai saat ini belum ada patokan pasti berapa jumlah antibodi yang diperlukan untuk melindungi tubuh dari virus.

Alhasil, masih belum jelas apakah pengurangan efektivitas vaksin sebesar dua pertiga ini benar-benar membuat vaksin tidak efektif terhadap varian tersebut.

“Kami tidak tahu berapa angka penetralisir (antibodi) minimum. Kami tidak memiliki batasan itu,” kata Yong Shi yang dikutip dari Reuters, Kamis (18/2/2021).

Yong Shi juga mengatakan, dia curiga jika tanggapan kekebalan yang diamati sejauh ini mungkin lebih besar dari yang diperlukan untuk memberikan perlindungan dari varian Corona.

Kecurigaan ini muncul karena dalam uji klinis, vaksin Pfizer-BioNTech bisa memberikan perlindungan dari virus setelah pemberian dosis vaksin pertama dengan respons antibodi yang lebih rendah, dibandingkan penurunan efektivitas yang disebabkan varian baru Corona Afsel.

Menurut Yong Shi, meskipun varian tersebut secara signifikan bisa mengurangi efektivitasnya, vaksin tetap harus membantu melindungi dari kemungkinan penyakit parah dan kematian.

“Perlu lebih banyak penelitian untuk memahami apakah vaksin bisa bekerja melawan varian Afsel, termasuk uji klinis dan pengembangan korelasi perlindungan untuk menentukan tingkat antibodi yang dibutuhkan,” jelas Yong Shi.

Editor : Aron
Sumber : detik