Sidang kasus dugaan suap penghapusan nama Djoko Tjandra  dari Daftar Pencarian Orang (DPO) di Ditjen Imigrasi Kemenkumham digelar pada Senin (2/11).
Dalam sidang perdana itu, terdapat 4 terdakwa yang duduk di kursi pesakitan. Mereka adalah Djoko Tjandra; eks Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte; eks Kakorwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo; dan Tommy Sumardi.
Mereka memiliki peran tersendiri dalam pusaran suap tersebut. Berikut kumparan rangkum sidang dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (2/11).
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (1)
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO

Djoko Tjandra

Djoko Tjandra didakwa memberikan suap USD 500 ribu kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Suap itu diberikan untuk pengurusan permintaan fatwa dari Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung).
Fatwa diperlukan agar Djoko Tjandra tidak menjalani hukuman 2 tahun penjara dalam kasus cessie Bank Bali yang diputus pada 2009 silam.
Hal tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menegaskan PK hanya bisa diajukan terpidana atau keluarga. Sementara dalam kasus cessie Bank Bali pada 2009, PK diajukan oleh jaksa. Sehingga fatwa dimaksudkan agar putusan tersebut tak bisa dieksekusi.
“Sehingga terdakwa Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana,” ujar jaksa.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (2)
Terdakwa Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Jaksa menuturkan, suap USD 500 ribu itu merupakan pembayaran pertama dari total yang dijanjikan sebesar USD 1 juta. Usai menerima USD 500 ribu, Jaksa Pinangki bersama rekannya, Andi Irfan Jaya menuangkan rencana permintaan fatwa kepada MA melalui action plan.
Action plan berisi tahapan pengurusan fatwa di MA. Sejumlah pihak disinggung di action plan itu, mulai dari Hatta Ali selaku Ketua MA hingga Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Dalam action plan tersebut, Djoko Tjandra juga menyediakan USD 10 juta atau sekitar Rp 146 miliar bagi pejabat di MA dan Kejagung. Sehingga Djoko Tjandra turut didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan.
“Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra telah melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya, yaitu bermufakat jahat untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar USD 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung,” ucap jaksa.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (3)
Terdakwa Pinangki Sirna Malasari meninggalkan ruangan usai sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (21/10). Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
Meski demikian, kata jaksa, pemberian suap untuk pejabat Kejagung dan MA tak terlaksana.
Di perkara suap, Djoko Tjandra turut didakwa memberi uang kepada 2 jenderal Polri, Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo, senilai Rp 8,3 miliar. Suap tersebut diberikan melalui Tommy Sumardi dengan maksud tertentu.
“Supaya Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi,” kata jaksa.
Jaksa menyatakan pada awalnya, Djoko Tjandra menghubungi Tommy. Ia menyampaikan keinginannya bisa masuk ke Indonesia untuk mengurus upaya Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya, namun terhalang red notice dan status DPO.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (4)
Kantor Imigrasi Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Djoko Tjandra kemudian meminta Tommy untuk mengurusnya dan bersedia menggelontorkan uang bagi siapa pun yang bisa membuatnya masuk ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung, uang yang disiapkan Djoko Tjandra mencapai Rp 10 miliar.
“Agar niat Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Terdakwa bersedia memberikan uang sebesar 10 miliar rupiah melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Terdakwa masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri,” kata jaksa.
Akhirnya Tommy mengurus penghapusan daftar DPO Djoko Tjandra ke Irjen Napoleon yang sebelumnya dikenalkan Brigjen Prasetijo. Atas bantuan dua jenderal itu, Ditjen Imigrasi kemudian menghapus status DPO Djoko Tjandra sejak 13 Mei 2020. Alhasil, Djoko Tjandra pun bisa mulus masuk ke Indonesia mengurus PK di PN Jaksel.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (5)
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto

Irjen Napoleon

Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra sekitar Rp 6,1 miliar dalam bentuk USD dan SGD secara bertahap pada April-Mei 2020. Ia diduga menerima suap tersebut dari perantara Djoko Tjandra, Tommy Sumardi.
Dalam dakwaan, Tommy disebut menyerahkan uang dalam 4 kali pemberian di ruang Kadiv Hubinter di lantai 11 Gedung TNCC Mabes Polri. Suap diberikan agar Irjen Napoleon membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO di Imigrasi.
Jaksa menyatakan, awalnya Irjen Napoleon meminta kepada Tommy agar menyiapkan Rp 3 miliar untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar DPO di data Imigrasi.
Atas permintaan itu, pada 27 April 2020, Djoko Tjandra meminta sekretarisnya, Nurmawan Fransisca, untuk mengambil uang dari brankas sebesar USD 100 ribu atau sekitar Rp 1,4 miliar. Uang tersebut kemudian diberikan kepada Tommy melalui seseorang bernama Nurdin.
Usai menerima USD 100 ribu tersebut, Tommy menuju kantor Divisi Hubinter untuk menyerahkan uang. Ia ditemani Brigjen Prasetijo Utomo
“Saat perjalanan di dalam mobil, Brigjen Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa Tommy Sumardi, kemudian mengatakan ‘banyak banget ini ji buat beliau? Buat gw mana?’. Dan saat itu uang dibelah dua oleh Brigjen Prasetijo Utomo dengan mengatakan ‘ini buat gw, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua’,” kata jaksa.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (6)
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (tengah) berbincang dengan kuasa hukumnya dalam sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Setelah berada di ruangan Kadiv Hubinter, Tommy kemudian menyerahkan USD 50 ribu atau sekitar Rp 700 juta kepada Irjen Napoleon. Sontak Irjen Napoleon kesal lantaran nominal tersebut kecil dibandingkan yang diminta.
Irjen Napoleon kemudian meningkatkan permintaannya sembari mengatakan uang tersebut bukan cuma untuknya, tetapi akan diberikan ke petinggi.
“Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan ‘ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji, soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata ‘petinggi kita ini’. Selanjutnya Tommy Sumardi dan Brigjen Prasetijo Utomo dengan membawa paper bag warna gelap meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri,” ucap jaksa.
Dari permintaan tersebut, kata jaksa, Irjen Napoleon diduga menerima sekitar Rp 6,1 miliar. Atas penerimaan uang tersebut, Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan anak buahnya membuat 3 surat yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi, tertanggal 29 April 2020, 4 Mei 2020, dan 5 Mei 2020.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (7)
Kantor Imigrasi Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Surat ditandatangani oleh An. Kadiv Hubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
Surat pertama menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7. Melalui surat tersebut juga diinformasikan data DPO yang diajukan oleh Div Hubinter Polri pada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Surat kedua perihal pembaharuan data Interpol Red Notice. Isinya menyampaikan adanya penghapusan Interpol Red Notice.
Surat ketiga menginformasikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dalam sistem basis data Interpol sejak 2014 (setelah 5 tahun)
Atas surat-surat tersebut, Ditjen Imigrasi menghapus status DPO Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System pada Sistem Informasi Keimigrasian pada 13 Mei 2020. Alhasil, Djoko Tjandra bisa mulus masuk ke Indonesia mengurus PK di PN Jaksel.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (8)
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Brigjen Pol Prasetijo Utomo menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO

Brigjen Prasetijo

Perwira tinggi Polri lain yang terseret kasus ini yakni Brigjen Prasetijo. Sebelum didakwa terlibat kasus suap, Brigjen Prasetijo telah menjalani sidang kasus dugaan penerbitan surat jalan palsu untuk Djoko Tjandra agar bisa masuk Indonesia.
Di kasus suap, Brigjen Prasetijo didakwa menerima Rp 2,2 miliar dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Suap diberikan lantaran Brigjen Prasetijo membantu pengurusan penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang Imigrasi. Brigjen Prasetijo merupakan sosok yang mengenalkan utusan Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, kepada Irjen Napoleon.
“Menghubungkan Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadiv Hubinter Polri supaya membantu menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang,” ucap jaksa.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (9)
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Brigjen Pol Prasetijo Utomo menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
Tak hanya mengenalkan, Brigjen Prasetijo disebut pernah juga memerintahkan anak buahnya untuk mengedit surat permohonan penghapusan Red Notice yang ada di Divhubinter Polri dari istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran.
Selama membantu proses tersebut, Brigjen Prasetijo diduga 2 kali minta jatah fee kepada Tommy Sumardi. Saat itu, Brigjen Prasetijo mengatakan “Ji sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya”.
Lalu dijawab Tommy Sumardi, “sudah, jangan bicara di telepon, besok saya saja yang ke sana”. Jaksa menyebut Brigjen Prasetijo pada akhirnya menerima USD 150 ribu atau sekitar Rp 2,2 miliar.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (10)
Terdakwa selaku perantara pemberian suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO

Tommy Sumardi

Salah satu peran sentral dalam kasus ini merupakan Tommy Sumardi. Ia bertindak sebagai perantara suap senilai USD 270 ribu dan SGD 200 ribu kepada Irjen Napoleon dan USD 150 ribu kepada Brigjen Prasetijo.
Tommy merupakan utusan langsung Djoko Tjandra untuk mengurus penghapusan status DPO.
“Bersama-sama dengan Joko Soegiarto Tjandra memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang,” kata jaksa.
Dalam sidang itu, Tommy Sumardi mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC). Pengacara Tommy, Doni Pongkor, membeberkan alasannya.
Serba-serbi Sidang Dakwaan Djoko Tjandra dan Mereka yang Terseret di Dalamnya (11)
Terdakwa selaku perantara pemberian suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
“Alasan pengajuan JC karena seluruh isi dakwaan berdasarkan hasil pengakuan klien kami. Kalau klien kami tidak memberikan keterangan seperti itu, tidak ada perkara ini,” kata Dion Pongkor.
Dion mengatakan, sesuai ketentuan, seharusnya kliennya masuk dalam kategori saksi pelaku yang bekerja sama. Kliennya juga dinilai sudah bekerja sama membuka fakta seluas-luasnya.
“Kami merasa berhak dapet status jadi JC,” kata dia.
Editor : Aron
Sumber : kumparan