Kendari – Angka kematian virus corona di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami peningkatan sampai 300 persen dalam dua bulan terakhir. Pada 30 Juni 2020, kasus meninggal akibat Covid-19 sebanyak 6 orang, namun pada 25 Agustus 2020 jumlah kematian menjadi 24 kasus.

“Jumlah kematian bertambah 18 orang atau 300 persen,” kata Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Sultra La Ode Rabiul Awal, Selasa (25/8).

Selain itu, kasus terkonfirmasi positif juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam dua bulan terakhir. Bila pada 30 Juni 2020 jumlah pasien terkonfirmasi hanya 363 kasus, maka pada 25 Agustus 2020 menjadi 1.365 kasus.

“Kumulatif kasus kurang dari dua bulan ini bertambah 1.002 kasus atau 276 persen,” jelasnya.

Rabiul menyebut, mayoritas penyebab pasien covid meninggal karena penyakit penyerta yang dideritanya. Menurut dia, pasien dengan penyakit komorbid sangat rentan terhadap infeksi virus corona.

“Tapi kalau mau bicara komorbid, oke lah sudah satu tahun. Namun, itu penyakitnya diperparah setelah terinfeksi virus,” katanya.

Rabiul mengatakan, ada beberapa pasien komorbid yang meninggal akibat terinfeksi virus corona namun proses penanganannya tidak dilakukan sebagaimana protokol covid.

“Di Baubau misalnya, prosesnya tidak terselenggara berdasarkan prosedur Covid,” bebernya.

Ia menyebut, masalah saat ini adalah keseriusan gugus tugas Covid kabupaten atau kota dalam penanganan kasus virus corona. Gugus tugas bahkan kesulitan mengakses informasi terkait penanganan kasus.

“Sebenarnya mereka sudah tidak serius. Nah sementara basic penanganan ada di kabupaten kota,” tuturnya.

 

Jumlah Testing Rendah

Selain itu, jumlah testing terhadap masyarakat melalui PCR terbilang rendah di Sulawesi Tenggara. Sejauh ini, baru 7.500-an warga atau 0,25 persen dari total populasi 2,7 juta jiwa yang menjalani tes swab.

Dari 7 ribuan warga yang telah ditesting itu mayoritas adalah pasien yang terinfeksi maupun kontak eratnya. Bahkan, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) yang belum ditemukan kasus, hanya melakukan tes terhadap empat sampel warganya.

Rendahnya testing ini akibat minimnya alat yang dimiliki Pemprov Sultra. Sejauh ini, hanya satu alat PCR yang kemampuannya bisa menguji 100 sampel perhari. Kemudian tes cepat molekuler (TCM) yang hanya bisa menguji 20 sampel perhari.

Minimnya alat tes di provinsi ini ironis jika menilik jumlah anggaran yang digelontorkan Pemprov Sultra untuk penanganan covid-19 sebesar Rp400 miliar. Belum lagi di 17 pemerintah kabupaten atau kota yang mengalokasikan anggaran kurang lebih di atas Rp10 miliar.

Menurut Rabiul Awal, sejauh ini ada beberapa daerah yang telah mengadakan alat tes berupa PCR secara mandiri. Misalnya, Kolaka Utara dan Kolaka.

“Namun saya cek dulu apakah sudah dioperasikan atau belum,” katanya.

Rabiul menyebut, rendahnya testing ini karena pemerintah kabupaten kota yang belum mengubah pola. Selain itu, ada sejumlah keluarga pasien yang tidak mau dites swab.

“Di Baubau juga ada begitu. Pasien yang meninggal baru-baru ini tidak di-swab. Termasuk di Buton Tengah ada beberapa yang tidak mau di-swab padahal menjadi kontak erat,” imbuhnya.

 

Editoe : Aron

Sumber : cnnindonesia