Nasional
4 min read
84

Cara Membaca Pancasila

1 Juni 2020
0


JAKARTA – Sekarang kembali ke Pancasila sila ketiga, tekan Maman Imanulhaq (Media Indonesia, 19 April 2019). Pesan itu disampaikannya pasca pemilihan umum serentak 17 April 2019 guna menciptakan rekonsiliasi antaranak bangsa. Tak dapat dipungkiri Pemilihan Presiden 2019 menimbulkan polarisasi dalam masyarakat sehingga dikotomi pasca-pilpres ini perlu dihentikan dengan kembali kepada sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Pernyataan Anggota TKN itu disambut oleh banyak pihak dengan mengampanyekan Sila Ketiga Persatuan Indonesia di ruang-ruang sosial maya. Lepas dari persoalan dikotomi politik elektoral pada 2019, pernyataan Maman Imanulhaq cukup menarik. Karena, Maman mengajukan salah satu sila dalam Pancasila ke dalam ruang publik tanpa sila-sila lain. Pandangannya cukup mewakili pandangan sebagian masyarakat luas terhadap Pancasila.

Tak jarang sebagian publik juga membaca Pancasila sebagai urutan nila-nilai yang berdiri masing-masing dan tak berelasi satu sama lain. Alhasil, percakapan soal Pancasila hanya menyekitari “Sila Ketuhanan” dan “Sila Persatuan Indonesia” semata, sedangkan sila-sila lainnya tidak terlalu dibahas. Pandangan-pandangan semacam ini memicu dua definisi, yakni Pancasila adalah ketuhanan atau Pancasila adalah nasionalisme Indonesia.

Akhirnya, kedua pandangan ini cukup dominan dalam percakapan-percakapan tentang imajinasi sosial-politik Indonesia.

Ketegangan Antarkubu

Cara membaca Pancasila secara atom bukan barang baru dalam percakapan soal dasar negara. Secara historis, saat Pancasila dicetuskan dalam sidang Badan Persiapan Untuk Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 oleh Sukarno juga memuat ketegangan antarkubu Nasionalis dan Islam.

Perlu diakui juga bahwa pidato Pancasila yang dilontarkan oleh Sukarno dalam persidangan itu masih bersifat catatan pemikiran personal sehingga masih perlu dilakukan diskusi mendalam sembari pendekatan dengan dengan kubu-kubu yang ada. Alhasil, dibentuk sebuah kelompok kerja untuk mendiskusikan persoalan konstitusi yang memuat dasar negara. Sukarno berinisiatif secara informal untuk membentuk Panitia Sembilan. Panitia ini terdiri dari kedua kubu tersebut secara seimbang agar terdapat dialog tentang pandangan dari kedua golongan itu.

Menurut Yudi Latif dalam Negara Paripurna (2016), Panitia Sembilan tidak menjadikan Islam sebagai dasar dan agama negara, tetapi terdapat beberapa perubahan dalam urutan Pancasila yang dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato Pancasila Sukarno, “Sila Ketuhanan” berada di urutan terakhir dipindah ke atas menjadi sila pertama dengan penambahan “tujuh kata.”

Dari potongan narasi sejarah Pancasila itu dapat dilihat bahwa sejak semula pemaparannya dan penyempurnaannya terdapat persoalan mendalam soal urutan dan numerik. Padahal, dalam pidato Pancasila Sukarno sudah menekankan bahwa urutan dalam Pancasila bersifat korelatif, bukan atomis-prioritas. Artinya, Pancasila mengandung keterbukaan dan kelenturan. Oleh sebab itu, Sukarno menekankan bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan integratif yang saling mengandaikan dan mengunci.

Maka itu, bagi Sukarno urutan sila-sila dalam Pancasila tidak terlalu mendasar. Memang, akan menjadi problematis jika membaca Pancasila dengan logika numerik karena Pancasila akan dibaca sebagai sebuah nilai-nilai atomis belaka yang tak terkorelasi satu dengan yang lain.

Penekanan terhadap sifat Pancasila yang korelatif menjadi sangat utama bagi Sukarno. Pergulatan ini bukan barang baru dalam pemikiran Sukarno, melainkan merupakan pergulatan semenjak muda saat mulai terjun ke kancah politik pada masa pra-Indonesia. Pada 1926, Sukarno menulis sebuah artikel di Indonesia Moeda berjudul Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.

Ia melihat bahwa ketiga paham itu adalah roh dalam pergerakan di Hindia Belanda bahkan di Asia, namun terjebak dalam soal identitas politik sehingga menimbulkan sebuah gesekan yang kontra produktif. Oleh sebab itu, dalam artikel itu Sukarno menekankan sinergitas sehingga dapat menciptakan gelombang besar dalam medan perjuangan sosial-politik. Dengan sinergitas ketiga golongan itu maka dapat berkonvergensi untuk menghancurkan kejahatan struktural para penjajah.

Alhasil, selama ia bergeliat dalam blantika politik nasional sampai akhirnya dibuang oleh pemerintah kolonial, upaya pewujudan sinergitas ideologi-ideologi terus menjadi hasratnya. Sampai akhirnya, dinamika hasrat itu membentuk dalam Pancasila.

Logika Korelatif

Akhirnya, dalam membaca Pancasila diperlukan logika korelatif agar tidak terjerumus kepada logika numerik-atomis. Karena, Pancasila lahir sebagai antitesis terhadap ideologi-golongan yang eksklusif-parsial sehingga korelasi atau dialog antargolongan atau ideologi begitu dikedepankan dalam persoalan sosial, politik, dan budaya. Dengan sifat korelatifnya maka dimungkinkan terciptanya sebuah sinergitas antar-ideologi untuk menciptakan sebuah tatanan baru dan dinamis.

Oleh sebab itu, tampak aneh jika ada seseorang atau kelompok yang hanya menekankan salah satu sila tanpa sila-sila lainnya dalam ruang publik. Sila-sila dalam Pancasila seperti puzzle, jika dilepas satu maka gambar menjadi rumpang. Demikian dengan Pancasila, jika salah satu sila dilepas dari sila-sila lainnya, maka menjadi rumpang dan runtuh. Cara membaca Pancasila secara numerik, atomis, dan parsial adalah logika yang salah kaprah dan mencederai Pancasila itu sendiri. Karena, pada dasarnya Pancasila itu bersifat korelatif-sinergis.

Eka Darmaputera mengatakan dalam Pancasila: Identitas dan Modernitas (1987) bahwa prinsip utama Pancasila adalah gotong royong. Dengan demikian, Pancasila sebagai memoria-imajinatif bahwa bangsa ini lahir dari gotong-royong/sinergitas para Bapak-Ibu bangsa dengan ragam latar belakang ideologi, etnisitas dan religiositas sehingga menjadi sebuah imajinasi kolektif Indonesia secara futuris-aktual.

Dengan begitu, dialektika ideologi dalam Pancasila memungkinkan lahirnya sebuah sintesis pemikiran yang dinamis-aktual. Seperti pergumulan kubu Nasionalis dan Islamis telah berhasil melampaui batas-batas perbedaan ideologi sehingga melahirkan sebuah konstitusi yang bersifat agamis-demokrastis. Dengan memoria-imajinatif seperti itu maka dapat melahirkan pemikiran dan hidup masyarakat baik sipil pun politik yang sinergis/gotong royong.

Fially Fallderama koordinator Risol, alumnus STFT Jakarta

Editor: PARNA
Sumber: detiknews