JAKARTA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia berencana melarang penggunaan vape atau rokok elektrik. Kepala BPOM, Penny Lukito, menyebut larangan akan diusulkan dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Menurut Penny ada beberapa fakta ilmiah yang ditemukan oleh BPOM menjadi dasar usulan pelarangan vape. BPOM menemukan bahwa bahan baku vape mengandung senyawa kimia yang berbahaya mulai dari nikotin, propilenglikol, perisa, logam, karbonil, tobacco specific nitrosamines (TSNAs), hingga diethylene glycol (DEG).

Di luar negeri isu pembatasan vape sebetulnya sudah lama bergulir dan beberapa negara bahkan sudah mulai menerapkannya. Hal ini menyusul munculnya berbagai macam laporan orang-orang dirawat di rumah sakit bahkan hingga meninggal berkaitan dengan penggunaan vape.

1. Kasus di Amerika Serikat (AS)

Di AS setidaknya sejak bulan Maret 2019 ada sekitar 2.000 orang yang dilarikan ke rumah sakit dan 40 di antaranya meninggal dunia. Dalam laporan Morbidity dan Mortality mingguan yang dikeluarkan oleh CDC pada tanggal 11 Oktober lalu, penyakit yang menyerang ini secara resmi disebut EVALI singkatan dari E-cigarette or Vaping Product use Associated Lung Injury.

Dalam laporan di jurnal ternama The Lancet para pasien yang merupakan pengguna vape menunjukkan gejala sulit bernapas, nyeri perut, hingga gejala seperti flu. Kebanyakan pasien bisa membaik dengan obat antibiotik, steroid, dan oksigen tetapi sekitar 10 persennya mengalami kekambuhan hingga harus dirawat karena komplikasi.

Menurut peneliti sebagian besar pasien punya sejarah mengonsumsi vape yang mengandung THC (minyak ganja). Namun ada juga yang hanya mengonsumsi vape bernikotin.

2. Kasus di Korea Selatan

Korea Selatan (Korsel) pada bulan Oktober lalu mengambil langkah tegas untuk melarang penggunaan vape. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Korsel, Park Neung-hoo, usai menerima laporan di bulan yang sama seorang pria 30 tahun pengguna vape dilarikan ke rumah sakit karena pneumonia.

“Situasi saat ini dianggap sebagai risiko serius bagi kesehatan masyarakat,” kata Neung-hoo seperti dikutip dari Reuters.

3. Kasus di Indonesia

Indonesia sendiri secara resmi belum melaporkan munculnya korban atau pasien dirawat di rumah sakit karena kondisi seperti yang terjadi di luar negeri. Namun demikian menurut Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR, sudah ada tanda-tandanya.

dr Agus mengatakan pernah menangani kasus yang memiliki karakteristik sangat mirip dengan kasus yang terjadi di AS. Pasien pria berusia 23 tahun yang telah merokok selama 8 tahun dan baru menggunakan vape selama 6 bulan. Datang dengan keluhan sesak napas selama 3 hari, batuk, tidak demam, tidak ada riwayat asma, tidak ada riwayat TB maupun operasi. Hasil rontgen menyatakan ada hidropneumothoraks di dada kirinya namun tidak ada infiltrat atau peradangan.

Kasus kedua terjadi pada pasien berusia 18 tahun yang sudah mengonsumsi vape selama 3 bulan dengan keluhan sesak napas dan batuk selama 3 minggu, demam saat awal, batuk dengan sedikit darah. Foto rontgen menunjukkan hasil adanya infiltrat di dada bawah kanan-kiri.

“Sampai saat ini laporan resmi belum ada. Tapi saya tadi menampilkan 2 kasus, dari teman sejawat dan saya sendiri,” kata dr Agus beberapa waktu lalu.

“Apa ini terkait vape? Tapi tidak terbukti infeksi, tidak terbukti kanker. Kalau balik lagi ke indikasi CDC 90 hari vaping, sesak, di foto ada kelainan. Ya mirip kan (seperti di AS -red)” pungkasnya.

 

Editor: PARNA

Sumber: detikhealth