Jakarta – PT Bank Central Asia Tbk (BCA) meraup laba bersih sebesar Rp20,92 triliun hingga kuartal III 2019, atau tumbuh 13 persen dari perolehan periode yang sama tahun lalu, Rp18,5 triliun. Pertumbuhan laba bersih ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 9,9 persen.

Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja menuturkan kenaikan laba bersih ditopang pertumbuhan bunga bersih sebesar 12,2 persen dari Rp33,35 triliun menjadi Rp37,43 triliun. Pertumbuhan pendapatan bunga bersih lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu,10,1 persen.

Jahja bilang kenaikan pendapatan bunga bersih ditopang pertumbuhan penyaluran kredit perseroan sebesar 10,9 persen dari Rp527,88 triliun menjadi Rp585,49 triliun. Namun, angka kenaikan kredit cenderung lesu dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 17,3 persen.

Meski lesu, ia bilang pertumbuhan kredit perusahaan dengan kode saham BBCA itu lebih tinggi ketimbang pertumbuhan kredit industri sebesar 8,6 persen.

“Kalau secara year to date (ytd) industri itu hanya 3 persen, kami 6,2 persen ytd,” katanya, Senin (28/10).

Melihat angka tersebut, Jahja mengaku agak pesimistis dengan pertumbuhan kredit tahun ini. Ia mematok target sebesar 8 persen hingga akhir tahun.

Tahun depan, perseroan masih mematok target pertumbuhan kredit secara konservatif di rentang 8 persen-9 persen. Namun demikian, target tersebut bisa berubah jika terdapat permintaan kredit dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tinggi.

“Tinggal 3 bulan rasanya 3 bulan terlalu cepat untuk orang ambil keputusan tambah investasi,” katanya.

Secara rinci, kredit korporasi meningkat 16,5 persen dari Rp199,17 triliun menjadi Rp231,99 triliun dan kredit komersial dan UKM tumbuh 10,5 persen dari Rp173,82 triliun menjadi Rp192,15 triliun. Selanjutnya, kredit kredit konsumer naik 4,1 persen dari Rp150,11 triliun menjadi Rp156,29 triliun.

Kendati demikian, kualitas kredit menurun ditandai dengan peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) dari level 1,4 persen menjadi 1,6 persen di September 2019.

Menurut Jahja, kenaikan NPL dipicu kredit macet dari nasabah di wilayah Palu, Sulawesi Tengah lantaran masih dalam proses pemulihan usai bencana gempa dan tsunami yang melanda kawasan itu pada 2018 lalu. Selain itu, kredit macet juga dipicu tunggakan kewajiban salah satu perusahaan baja dalam negeri.

“Kebetulan kami kenanya kecil sekali bank lain bisa 10 kali,” tuturnya.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 10,4 persen dari Rp618,86 triliun menjadi Rp683,05 triliun. Pertumbuhan DPK khususnya berasal dari dana murah (Current Account and Savings Account/CASA) yang tumbuh 7,6 persen dari Rp477,53 triliun menjadi Rp513,88 triliun.

Adapun rasio kecukupan modal (CAR) dan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) pada level sehat masing-masing 23,8 persen dan 80,6 persen.

Berkat pencapaian tersebut aset perusahaan terkerek naik 11,8 persen dari Rp798,96 triliun menjadi Rp893,59 triliun.

 

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia