Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 49 potensi fraud atau penipuan terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak 2017.
Perwakilan ICW Dewi Anggraeni mengatakan potensi fraud itu bisa jadi penyumbang defisit BPJS Kesehatan selama ini. Potensi fraud atau kecurangan itu misalnya manipulasi penggunaan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat), penerimaan uang oleh pihak Puskesmas untuk rujukan, penggunaan alat kesehatan, obat hingga tindakan medis.
“Fraud kan ini jenisnya banyak. Di peraturan UU aja banyak. Terus yang dilakukan macam-macam pelaku itu juga banyak. Nah tapi kalau menurut analisis ICW itu salah satunya, meskipun kecil ya, itu juga sebagai penyumbang defisit,” ujar Dewi ketika ditemui kumparan di Ruang Kekini, Cikini, Jakarta, Minggu (13/10).
Dewi menjelaskan, pemantauan dan kajian potensi fraud itu melibatkan 14 jaringan Civil Society Organization (CSO) di 15 daerah di Indonesia. Yaitu, Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Madura, Kalbar, Kaltim, Sulsel, Sultra, NTT dan NTB.

Pada tahun 2018, ICW pun menemukan fraud berasal dari korupsi dana kapitalisasi oleh kepala dan bendahara Puskesmas, kepala dinas kesehatan, bahkan kepala daerah.
“Kajian ini diawali adanya OTT KPK terhadap Bupati Jombang pada awal Februari 2018,” kata dia.
Data ICW menunjukkan, pengelolaan data kapitalisasi di sebagian besar Puskesmas dan FKTP lainnya di seluruh Indonesia mencapai Rp 13 triliun. Dana ini digunakan untuk membiayai pelayanan pada target peserta sebanyak 118 juta.
“Tata kelola Puskesmas masih buruk sehingga meningkatkan potensi fraud dan kerawanan dalam pengelolaan dana kapitalisasi,” tuturnya.
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sementara tahun 2019 ini, ICW kembali menemukan fraud dalam penyediaan obat di empat kota yakni Banda Aceh, Medan, Banten dan Blitar. Hasilnya, banyak kasus kekosongan obat dengan berbagai jenis obat seharga Rp 10.000 hingga Rp 75.000 tiap pasien.
Penyebab kekosongan tersebut, menurut pihaknya karena lambatnya distribusi obat oleh perusahaan farmasi, penyusunan Rencana Kerja Operasional (RKO) yang tidak sesuai, dan adanya utang fasilitas kesehatan. Potensi fraud itu terjadi sejak perencanaan, pengadaan hingga pengelolaan obat.
“Potensi defisit dari fraud ini juga perlu dilihat,” tutupnya.
Editor: PAR
Sumber: Kumparan