Jakarta – Pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menjadi babak baru pembahasan Flight Information Region (FIR) atau pengelolaan wilayah udara yang selama ini berpolemik. FIR sendiri merupakan isu kedaulatan udara yang sudah kerap dibahas sejak lama.

Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan itu Jokowi mengatakan, RI menerima kerangka kerja untuk negosiasi FIR yang disepakati kedua negara.

“Indonesia menghormati posisi Singapura yang memahami keinginan Indonesia untuk mengawasi wilayah udara kami sendiri,” kata Jokowi dalam pernyataan bersama di The Istana, Singapura, Selasa (8/10/2019).

 

 

Tim Teknis Indonesia, jelas Jokowi, telah memulai negosiasi mengenai FIR. “Kami mendorong negosiasi secara cepat untuk mencapai hasil yang konkret,” ujarnya.

Begini lika-liku upaya RI merebut kembali ruang udaranya dari Singapura yang dirangkum detikcom pada Rabu (9/10):

Pengelolaan FIR 1946 dan diskriminasi atas pesawat Indonesia

FIR merupakan hak atas pengelolaan wilayah ruang udara sebuah negara. FIR yang dimiliki Indonesia, ada yang pengelolaannya didelegasikan ke Singapura. Hal ini disebabkan karena Indonesia belum memiliki perlengkapan dan alat yang memadai untuk mengelola FIR.

Pada tahun 2018 dalam sebuah acara diskusi, Mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menjelaskan bahwa bahwa kontrol atas ruang udara atau FIR (flight information region) di Kepulauan Riau sudah ada sejak 1946 dikuasai oleh Singapura.

Kuasa Singapura atas langit Indonesia itu ditetapkan dalam pertemuan ICAO di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Saat keputusan itu dibuat, menurut Chappy, delegasi Indonesia tak hadir. Ketika itu pun Singapura masih dikuasai oleh Inggris.

“Situasinya kita baru merdeka. Sehingga peserta pertemuan menyerahkan kendali ruang udara kepada otoritas yang dianggap terdekat, yaitu Singapura,” kata Chappy

Dia menjelaskan, Singapura menguasai sekitar 100 mil laut (1.825 kilometer) wilayah udara Indonesia. Wilayah seluas itu mencakup Kepulauan Riau, Tanjungpinang, Natuna, Serawak dan Semenanjung Malaka. Dengan demikian, pesawat kita harus minta izin kepada otoritas penerbangan Singapura jika hendak terbang dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru di wilayah kedaulatan RI sendiri. Hal sama juga berlaku bagi penerbangan dari Pulau Natuna ke Batam dan penerbangan-penerbangan lain di kawasan Selat Malaka.

Akibat dikuasai Singapura, para penerbang Indonesia, baik sipil maupun militer, kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dari otoritas penerbangan Singapura.

Sementara itu, Kapten Pilot Christian Bisara dalam sebuah diskusi Gramedia Pondok Indah mengaku pernah diminta menurunkan ketinggian pesawat Garuda yang dikendalikannya karena jalur yang dilalui akan digunakan pesawat lain. “Ini kurang ajar betul. Saya sempat menolak dan menyampaikan nota protes,” keluhnya saat itu.

Namun, sialnya, Singapura justru kerap memberikan izin kepada pesawat asing dengan mudah untuk melintasi wilayah udara itu. Bahkan, tanpa perlu terlebih dahulu berkoordinasi dengan pihak Indonesia.

Beberapa di antaranya terjadi pada tahun 2018. Pada tahun itu, pesawat komersial Brunei pernah ketahuan nyelonong begitu saja ke wilayah udara kepulauan Riau dengan berbekal izin Singapura, tanpa izin Indonesia. Kemudian di tahun yang sama, pesawat Airbus A-320 (V8-RBT) asing pernah melintasi wilayah udara Kepulauan Riau tanpa izin Indonesia.

1993, pernah ingin rebut FIR tapi gagal lobi

Pada tahun 1996, upaya untuk merebut FIR Indonesia pernah dilakukan. Indonesia dan Singapura membuat perjanjian FIR. Namun, FIR Indonesia tetap didelegasikan kepada Singapura. Indonesia kalah lobi karena cuma mengutus pejabat eselon I, sedangkan Singapura selalu dihadiri oleh para menteri terkait.

Dalam perjanjian tersebut, wilayah udara Indonesia yang masuk FIR Singapura adalah wilayah kepulauan Riau, Natuna dan daerah sekitarnya. Wilayah ini juga kerap disebut dengan sektor A, B, C. Dasar penetapan FIR Indonesia-Singapura ini ditetapkan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Dalam buku ‘Perjanjian FIR Langit Indonesia Milik Siapa?’ karya Ian Montratama, dijelaskan bahwa mulanya perjanjian tersebut ditetapkan untuk mengakomodasi kepentingan kedua negara. Atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan Route Air Navigation Services (RANS). Dengan adanya FIR ini, pesawat Singapura diizinkan untuk melintasi kawasan FIR hanya berbekal izin Air Traffic Control Indonesia (ATC) Singapura saja. Namun alih-alih menguntungkan Indonesia, FIR yang dikelola Singapura justru masih memicu persoalan.

Tiga syarat yang perlu disiapkan untuk merebut FIR

Mantan penerbang tempur TNI AU dan dosen pengajar pertahanan di Universitas Pertahanan (Unhan) Marsda TNI (Purn) Kusnadi Kardi menyampaikan syarat-syarat untuk merebut kembali FIR Indonesia dari Singapura. Hal itu disampaikan dalam seminar nasional Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW) di Persada Executive Club, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (26/10/2016).

Pertama, Indonesia harus memiliki UU tentang batas wilayah kedaulatan udara, sehingga memiliki kepastian hukum untuk bertindak, manakala terjadi pelanggaran wilayah kedaulatan udara, menyangkut apa sanksinya dan bagaimana upaya pencegahannya.

Kedua, standar dan kualitas penerbangan Indonesia harus diakui standar ICAO. Hal ini diperlukan agar kualitas penerbangan Indonesia diakui dunia.

Ketiga, untuk mendapatkan data yang akurat termasuk untuk mencegah illegal fishing dan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing, Indonesia harus menyiapkan pesawat yang memiliki kemampuan air surveillance atau maritime air surveillance.

Instruksi Jokowi tahun 2015 untuk rebut FIR

Pada 2015, Presiden Jokowi pun pernah menginstruksikan agar FIR yang selama ini dikuasai Singapura segera diambil alih. Ia meminta kementerian terkait mempersiapkan peralatan dan personel untuk mengelola ruang udara yang dimaksud. Jokowi memerintahkan FIR diambil alih Indonesia 3-4 tahun sejak instruksi dikeluarkan.

Empat tahun berselang, isu FIR Singapura itu dibahas lagi dalam pertemuan Jokowi dengan PM Singapura Lee Hsien Loong. Tentunya, pembahasan ini bisa menjadi jalan masuk Indonesia agar bisa merebut wilayah udaranya yang selama ini dikelola oleh Singapura.

Editor: PAR
Sumber: detiknews