Jembatan gantung penghubung antara Desa Teluk Pandak dan Desa Embacang Gedang di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi memiliki kondisi yang rusak berat.
Jembatan penghubung yang menjadi penghubung dua desa berbeda kecamatan tersebut merupakan akses utama warga setempat pergi ke kebun dan sarana pendidikan atau ke sekolah.
Izhar Syafawie (20 tahun), salah satu pemuda setempat, menyebutkan kondisi jembatan gantung yang berada di atas aliran Sungai Batang Tebo tersebut sudah lama mengalami kerusakan. Ada rasa khawatir dalam dirinya apabila dengan kondisi yang tetap seperti itu, jembatan itu akan kembali menelan korban jiwa.
“Kami sangat khawatir, jembatan ini kembali memakan korban. Sudah dua kali terjadi, yang pertama yang sama motor-motornya jatuh itu meninggal 1 orang, yang 1 si pengendara motor berhasil menyelamatkan diri dengan pegangan di seling saat angin kencang itu,” kata Izhar.
Jembatan ini menghubungkan Desa Teluk Pandak, Kecamatan Tanah Sepenggal dengan Desa Embacang Gedang, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Jembatan itu dibuat dari tahun 2016 dan baru berfungsi sejak tahun 2017 dengan panjang 135 meter.
“Sejak sebulan ini, kondisi jembatan sudah sangat memprihatinkan karena sudah sangat rusak. Pijakan untuk melewati jembatan pun sudah tidak ada, banyak yang bolong-bolong sehingga sangat membahayakan keselamatan warga dan anak-anak sekolah,” jelasnya.
Padahal menurutnya, jembatan ini menjadi akses pendidikan hingga ekonomi, masyarakat setempat. Setiap harinya, jembatan tersebut digunakan warga sekitar dan pelajar untuk akses menuju sekolah MAN 3 Bungo. Juga akses warga untuk ke kebun yang berada di seberang sungai.
“Memang banyak warga yang sering menggunakan jembatan ini, termasuk juga anak-anak yang hendak sekolah. Jembatan itu sangat dibutuhkan warga, karena warga yang mayoritas petani kalau mau ke kebun harus melewati jembatan itu,” kata Izhar.
Sebenarnya, anak sekolah bisa menggunakan getek (perahu tradisional warga setempat) namun, harus menunggu lama. Anak-anak sekolah takut terlambat, sehingga mau tak mau harus melewati jembatan tersebut. Selain itu, kalau naik getek para penumpang dikenakan biaya sebesar Rp 5 ribu per orang.
“Ada getek, tapi nunggunya lama. anak-anak sekolahan takut telat dan selalu dimarahin gurunya, sehingga mau gak mau harus lewat sana (jembatan gantung) biar cepat meskipun berbahaya. Kalau naik getek mahal, 5 ribu per orang, dan juga lama. Bisa-bisa telat ke sekolah, karena sopir perahunya harus nunggu orang penuh dulu, baru mau nyebrang,” ungkapnya.
Sampai saat ini, belum ada perbaikan apalagi pembangunan secara permanen dari pemerintah setempat untuk jembatan gantung yang kondisinya kian mengkhawatirkan itu.
Jembatan tersebut sudah sering diperbaiki oleh warga dengan alat seadanya. Dulu awalnya lantai papan, karena sering patah, lalu diganti sama kaleng (baja) yang sudah mulai berkarat. Selama ini, warga desa setempat sepakat untuk memperbaiki secara swadaya dan bergotong-rotong. 
Warga setempat sangat berharap pemerintah daerah maupun provinsi segera memperbaiki jembatan gantung tersebut secara permanen, sebagai akses utama penghubung antar desa sehingga tidak membahayakan warga dan anak-anak ketika melintas menuju ke sekolah. 
Editor: PAR
Sumber: kumparan