Jakarta,  Nama negara Vanuatu belakangan sering terdengar dalam pemberitaan media di Indonesia terutama setelah sang perdana menteri, Charlot Salwai Tabimasmas, menyinggung dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan lalu.

Vanuatu merupakan negara di Pasifik yang memiliki daratan seluas 12 kilometer persegi atau seluas Pulau Maluku. Meski dianggap sebagai ‘negara kecil’, Vanuatu berani mengusik Indonesia dengan terus menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Papua.

Vanuatu bahkan mendukung perjuangan kelompok separatis Papua seperti Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda. Negara tersebut menjadi saksi tempat ULMWP didirikan lima tahun lalu.

Negara berpenduduk sebesar 270 ribu jiwa itu tak hanya sekali mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam forum internasional seperti PBB. Setahun lalu, Tabimasmas turut menyisipkan kecaman yang sama dalam sidang Majelis Umum PBB ke-73.

Pada sidang Majelis Umum PBB ke-71 tahun 2016, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya juga menyinggung masalah yang sama. Mereka bahkan mendesak PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Tak cukup berkoar di Majelis Umum, Vanuatu bersama Kepulauan Solomon juga mengangkat isu Papua di forum Dewan HAM PBB di Jenewa baru-baru ini.

Januari lalu, pemerintahan PM Tabimasmas kembali membuat geram Indonesia dengan menyelundupkan Benny Wenda dalam delegasinya ketika bertemu dengan Komisaris Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, di Jenewa.

Saat itu, Indonesia melalui perwakilan tetap RI di Jenewa, Hasan Kleib, mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja “mengelabui KT HAM” dengan melakukan langkah manipulatif dengan menyusupkan Benny Wenda dalam delegasi Vanuatu.

Dalam momen itu, Benny turut memberikan petisi referendum kemerdekaan Papua Barat yang diklaim telah ditandatangani oleh 1,8 juta orang.

Indonesia tak hanya berdiam diri setiap kali diusik Vanuatu dan negara Pasifik lainnya tentang isu Papua di forum internasional.

Pada sidang Majelis Umum PBB ke-71, Indonesia melalui diplomat mudanya, Nara Masista Rakhmatia, membantah seluruh argumen Vanuatu dan beberapa negara Pasifik yang menyinggung isu Papua dalam sidang.

Tak sampai di situ, pada sidang Majelis Umum PBB tahun lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang angkat suara terkait tuduhan Vanuatu tersebut. JK menuturkan pernyataan itu menggambarkan “tindakan bermusuhan” terhadap Indonesia yang tidak memiliki tempat dalam sistem PBB dan melanggar prinsip internasional.

“Sudah terlalu lama Indonesia memilih untuk membangun hubungan persahabatan dengan Vanuatu, termasuk dalam menunjukkan solidaritas dan simpati selama masa-masa sulit,” ucap JK saat itu.

Pada sidang PBB tahun ini, delegasi Indonesia keturunan Melanisia, Rayyanul Sangadji, menganggap Vanuatu sebagai negara pendukung gerakan separatisme. Jakarta menganggap Vanuatu terus mengeluarkan pernyataan dan aksi provokatif soal Papua hingga memberikan harapan palsu bahkan memicu konflik antar masyarakat di provinsi tersebut.

Solidaritas atas Ras

Riwayat dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua memang mengakar sejak awal pembentukan negara tersebut.

Usai bebas dari jajahan Perancis dan Inggris pada 1980, perdana menteri pertama Vanuatu, Walter Hadye, menyatakan kemerdekaan negaranya itu belum lah sempurna hingga seluruh bangsa dan wilayah Melanesia, termasuk Papua Barat, terbebas dari kolonialisme.

Pernyataan Hadye itu dinilai menjadi awal mula dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua melekat di negara itu.

Pada 2010, parlemen Vanuatu bahkan sampai mengadopsi Rancangan Undang-Undang Wantok Blong Yumi atau UU yang menegaskan pengakuan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.

Lewat UU tersebut, Vanuatu memberikan status observer bagi Papua Barat dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF). (rds/dea)

Editor: PAR
Sumber: CNNIndonesia