Jakarta – Mahasiswa yang tergabung dalam ‘Aliansi Mahasiswa Indonesia Tuntut Tuntaskan Reformasi’ akan kembali menggelar demonstrasi di depan gedung DPR/MPR, hari ini (24/9/2019). Mereka menolak dan menuntut pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dinilai dapat merugikan banyak kelompok masyarakat.

Sejumlah pasal dalam RUU KUHP yang menuai kontroversi juga dianggap dapat menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan. Seperti dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan (komnasperempuan.go.id), RUU KUHP berpotensi memarjinalkan kalangan anak, perempuan, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat penghayat kepercayaan, dan sebagainya.

Beberapa pasal dalam RUU KUHP yang dianggap bisa merugikan kaum perempuan jika benar-benar disahkan dan diimplementasikan antara lain:

1. Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan

Pasal 414 berbunyi:

Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

Pasal 415 berbunyi:

Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Kemudian dalam Pasal 416 dijelaskan bahwa perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 414 dan 415, tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dan relawan kompeten yang ditugaskan pejabat berwenang. Menurut Komnas Perempuan, hal tersebut berpotensi menghalangi partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi dan program keluarga berencana. Selain itu tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan ‘relawan dan pejabat berwenang’.

“Berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV/AIDS,” demikian ditulis Komnas Perempuan.

2. Pasal 419 tentang Hidup Bersama

(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya.

Namun usulan RUU KUHP pada 15 September 2019 menambahkan:

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua atau anaknya.

Pasal ini dikritisi Komnas Perempuan karena pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.

“Secara substansi penggunaan istilah ‘kepala desa atau dengan sebutan lainnya’ adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan,” tegas Komnas Perempuan.

3. Pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan

Pasal tersebut berbunyi:

Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain dipidana karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Menurut Komnas Perempuan, frasa ‘seorang ibu’ mengasumsikan hanya perempuan yang takut kelahiran anak (di luar nikah) diketahui orang lain. Padahal dalam hubungan seksual di luar nikah, laki-laki juga berperan dan tidak menutup kemungkinan, ia juga mengalami ketakutan akan stigma masyarakat.

“Asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan,” tulis Komnas Perempuan.

4. Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan

Pasal 470
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 471
(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 472
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 dan Pasal 471, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.

Komnas Perempuan mengkritisi, “Pasal 470 ini tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Karena kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu.”

“Pasal 472 ini bahkan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis,” lanjutnya.

Editor: PAR
Sumber: wolipop