Mengenang Masa Kecil Mendiang Kapusdatin dan Humas BNPB Sutopo Purwo
TUTUP USIA: Almarhum Kepala Pusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

POJOK BATAM.ID- Masa kecil Sutopo penuh cerita. Di kampungnya, Sutopo kecil dikenal sosok yang cerdas, alim, tapi selalu pasif kalau berhadapan dengan perempuan. Karena kepintarannya, Sutopo punya banyak sahabat.

TAUFIQURRAHMAN, Boyolali

SEPERTI bocah lainnya, Sutopo tumbuh di Kelurahan Pulisen di kota kecil Boyolali, Jawa Tengah.

Sutopo kecil dikenal sebagai anak pendiam. Eri Saptini, 54, bibinya, menyebut bocah kelahiran 7 Oktober 1969 itu “nggetu”. Serius dan tidak neko-neko. Hobinya bersepi-sepi membaca buku. Buku apa saja. Otaknya cerdas dan selalu jadi juara kelas.

Kenakalannya ya paling-paling sering keluyuran naik motor. Itu pun akibat “dihasut” teman-temannya. Ayah Sutopo guru pengawas pendidikan. Sedangkan ibunya bekerja di Pengadilan Negeri Boyolali.

Sampai SMP, Sutopo belum bisa mengendarai motor. Saat ayahnya mau berangkat mencari kerang untuk pakan ternak bebek, Sutopo ditantang mengendarai Vespa milik ayahnya. Satu-satunya motor yang ada di rumah itu. Dengan sekali sentak, Sutopo pun meluncur. “Eh, ternyata bisa. Tapi, pulangnya tetap dibonceng ayahnya,” cerita Eri kepada Jawa Pos kemarin (7/7).

Adalah Kurniawan Fajar Prasetyo alias Yoyok, saat ini menjabat kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Boyolali, yang dikenal nakal di kampungnya. Dia sahabat Sutopo waktu kecil. Orang tua dan kawan-kawannya berharap dengan berteman dan menempel ke Sutopo, Yoyok akan tertular perilaku baik. Syukur-syukur kepintaran Sutopo menular kepada Yoyok. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Sutopo kecil sering diajak mbeling oleh Yoyok. Mulai mandi di Kali Gede Boyolali hingga sore sampai adu jangkrik. “Maksudnya kan biar saya belajar ke Sutopo. Tapi, akhirnya dia yang belajar (nakal, Red) ke saya.” tutur Yoyok kepada Jawa Pos, lantas tertawa.

Meski begitu, Sutopo adalah anak yang lurus dan taat aturan. Saat permainan sudah melampaui batas seperti adu jangkrik tadi, menurut Yoyok, Sutopo sempat marah. Papan aduan disepak dengan tangan hingga jatuh berantakan.

Yoyok dan Sutopo menjalani masa kecil bersama mulai SD hingga SMP. Termasuk saat bermain bola. Meski berbadan gemuk dan pendek, Sutopo tak main-main. Dia selalu mengambil peran sebagai striker alias penyerang. “Tapi ya itu, larinya nggak bisa cepat,” kenang Yoyok.

Saat Sutopo berlari menyerang, saat itulah kawan-kawannya bersorak kegirangan. Sebab, mereka menyaksikan lari Sutopo yang sangat lambat. “Kentut nggak iso mlayu,” kata mereka. Tapi, kawan-kawannya paham, Si Kentut juga ingin mencetak gol. Pada beberapa kesempatan, mereka membiarkan Si Kentut maju sendirian tanpa pengawalan lurus hingga gawang lawan. Tanpa pengawalan berarti benar-benar tanpa pengawalan. Para bek belakang plus kiper-kipernya juga minggir dan membiarkan gawang kosong agar Si Kentut bisa mencetak gol. “Kadang kalau Sutopo nendang ke kanan, kipernya lari ke kiri. Biar dia bisa gol,” kenang Yoyok.

Soal perempuan juga sama. Teman Sutopo di SMP dan SMA 1 Boyolali, Atik Kusumawati, bercerita bahwa Sutopo pasif sekali kalau dengan kawan-kawan perempuan. Tak pernah ada yang dekat. Walaupun tidak sedikit yang kagum pada si pintar dan alim itu. “Beliau itu kan pintar sekali ya. Jadi kelasnya selalu A1 terus” tutur Atik.

Meski tampak pendiam dan tidak neko-neko, Sutopo punya banyak sekali teman. Semuanya merasa kehilangan saat dia mangkat kemarin malam. Keluarga banjir ucapan dukacita dari mereka yang mengaku teman SMA, SMP, maupun kuliah.

Atik menuturkan, beberapa minggu lalu, saat mendengar Sutopo dirawat di Guangzhou, dirinya menyempatkan berkirim pesan singkat melalui WhatsApp. Menanyakan kabarnya. Hanya, pesan itu tak pernah terbalas.

Sejak Sutopo dirawat di Tiongkok, memang ratusan orang mengiriminya pesan menanyakan kabar. Namun, hanya beberapa orang spesial seperti Yoyok yang masih bisa berkomunikasi dengan sang pahlawan informasi kebencanaan itu.

Di minggu-minggu terakhirnya, Yoyok ingat bahwa Sutopo sudah perlahan-lahan kehilangan pikirannya. Dia sempat bertanya kepada Yoyok pertanyaan aneh seperti “Bro, kira-kira kalau ada tsunami, Boyolali kena nggak, ya?” Sebuah pertanyaan yang seharusnya lebih dari mampu untuk dijawab Sutopo sendiri. “Tandanya pikirannya sudah tidak fokus lagi,” tutur Yoyok.

Lima hari lalu Yoyok kembali berbalas pesan dengan Sutopo. Sang sahabat dengan gembira mengabarkan bahwa benjolan di tengkuknya sudah kempis dan menghilang. Sebuah kemajuan. Tapi, bagi Yoyok, kabar tersebut meresahkan. “Benjolan kempis itu berarti sari-sarimu sudah diisap habis sama sel kanker. Hati-hati loh, Bro,” tutur Yoyok menirukan obrolannya dengan Sutopo.

Tapi, lagi-lagi Si Kentut menjawab dengan keteguhan. “Yes I know, I’m prepared,” balasnya. Beberapa hari kemudian Sutopo sudah semakin baik dan bersiap kembali ke tanah air. Dalam bahasa Yoyok, Sutopo tampak seperti merasa sudah sembuh.

Sampai akhirnya, Sabtu malam lalu Yoyok mendengar kabar bahwa kondisi Sutopo drop. Lalu, menghadap Yang Mahakuasa pada dini harinya. Bagi Yoyok, yang terbaik bagi karibnya itu memang segera dijemput Yang Kuasa. Dia tak tega melihat Sutopo menanggung sakit sampai memasang plester morfin di sekujur tubuhnya. Paginya Yoyok sempat mengirim pesan terakhir ke nomor WhatsApp sahabat masa kecilnya itu. “Selamat jalan, Bro….” Tapi, pesan tersebut tak pernah terbalas.

Suharsono Harsosaputro, ayah Sutopo, ikhlas menerima kenyataan bahwa putranya berpulang. Suharsono kali terakhir berkomunikasi dengan Sutopo pada Jumat (5/7). Dua hari sebelum meninggal. “Saya telepon dari rumah Boyolali, memberikan semangat supaya nggak putus asa. Optimis kamu akan sembuh, percayalah,” katanya. “Iya Pak, doakan terus ya, Pak,” lanjutnya menirukan jawaban anaknya itu.

Kabar duka itu membuat kaget masyarakat Indonesia yang berada di Modern Hospital Guangzhou. Masyarakat Indonesia yang juga menunggu kerabat yang sedang sakit di rumah sakit tersebut seolah tak percaya bahwa Sutopo meninggal.

”Kaget. Setahu saya, kemarin sehat. Hanya paginya agak sesak,” ujar Hendra, warga Pontianak, kepada wartawan Jawa Pos Puji Tyasari yang berada di Guangzhou. Selasa (2/7), Hendra dan rekan-rekannya mengunjungi Sutopo di kamarnya. Saat itu Sutopo terlihat sehat. Bahkan, dia berniat mengikuti city tour Rabu sore (3/7).

Namun, lantaran Sutopo mengalami sesak dan kondisinya drop pada Rabu, dokter membatalkan rencana itu. Sebelum kondisinya drop, Sutopo sempat keluar rumah sakit untuk membeli makanan. Dia bahkan duduk dan ngobrol bersama masyarakat Indonesia yang berada di rumah sakit tersebut.

Ahuat, warga Pontianak, juga merasa kehilangan. Menurut dia, Sutopo termasuk orang yang supel. Semangatnya untuk melawan kanker paru-paru stadium lanjut sangat tinggi. ”Orangnya baik, mau ngobrol dan sharing,” jelas laki-laki yang sudah dua bulan di Guangzhou itu.

Sumber:Jawapos.com