Pengurus Aspel B3 Indonesia foto bersama dengan anak yatim di acara Buka Bersama Aspel B3 Indonesia di Harmoni One Hotel senin (27/5/19)
Pojok Batam.id– Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Limbah Bahan berbahaya dan Beracun (Aspel B3) Indonesia, Barani Sihite mengatakan pihaknya masih belum mendapat petunjuk kapan limbah B3 bisa dikirim dari Batam ke daerah lain di Indonesia. Meski begitu, Aspel B3 Indonesia tetap menyuarakan agar limbah B3 tersebut bisa dikirim dari Batam melalui media, termasuk upaya lain guna menindaklanjuti agar polemik belum diperbolehkannya limbah B3 dikirim dari Batam yang sudah berlangsung selama enam bulan bisa diselesaikan sesegera mungkin. Sekadar diketahui bahwa polemik belum diperbolehkannya limbah B3 dikirim dari Batam ke luar daerah pabean lain di Indonesia.
“Adapun pertemuan terakhir yang digelar DLH yang pembicaranya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang perubahan pendokumentasian. Inilah jawaban riil saat itu yang diberikan kepada kita bahwa ada perubahan pendokumentasian dari hard ke soft. Kalau limbah B3 tidak kunjung bisa dikirim ke luar batam maka Batam bisa jadu kota limbah,” ujar Barani Sihite saat ditemui di acara Buka Bersama Aspel B3 dengan anak yatim di Harmoni One Hotel, kemarin (27/5).
Diharapkan dengan adanya kebijakan yang baru, kata Barani, diharapkan limbah B3 dapat dikirim keluar Batam dengan sejumlah persyaratan yang dianggap bukan merupakan substansi dari persoalan. Namun, Barani mengaku pihaknya tidak menanyakan lagi karena saat sosialisasi perubahan dokumentasi yakni manifest yang digelar baru-baru ini juga dilakukan tanya jawab dengan pembicara dari KLHK.
“Yang menginisiasi pertemuan tersebut adalah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam. Saat pertemuan itu ada lima poin di antaranya setiap pengusaha limbah B3 yang secara khusus mengirim limbah B3 ke luar Batam melalui pabean Batam harus mengikuti peraturan dan petunjuk yang disampaikan KLHK melalui pendokumentasian manifest elektronik,” urainya.
Menurut Barani, pendokumentasian manifest secara elektronik bukan merupakan hal baru bagi pengusaha. Sebab, pendokumentasian manifest elektronik sudah disosialisasikan sejak dua tahun silam. Sejauh ini, pengusaha limbah B3 menyambut baik regulasi tersebut dan tidak ada yang mengajukan keberatan. Pengusaha menganggap pendokumentasian manifest secara elektronik dianggap memudahkan sebab tinggal diklik saja.
Namun, saat sosialisasi dilakukan cukup banyak anggota Aspel B3 yang bertanya apakah dengan regulasi pendokumentasian manifest elektronik ini akan memudahkan pengiriman limbah B3 dari Batam. Pengusaha justru mendapat jawaban yang ambigu saat menyampaikan pertanyaan seputar regulasi tersebut. Dalam surat yang disampaikan KLHK kepada Bea Cukai (BC) Batam disebutkan bahwa ada syarat yang harus dipenuhi meski pendokumentasian manifest elektronik sudah dilakukan.
“Syaratnya yakni kemasan, asal limbah dan ada jaminan bahwa limbahnya tidak berasal dari luar negeri. Setelah itu BC bertanya ke KLHK dan mereka (KLHK, red) mengatakan bahwa itu hanya bentuk penyesuaian dan bukan suatu keharusan. Penyesuaian untuk mengingatkan sebab tanpa ada regulasi tersebut, pengusaha harus mengikuti PP 101 dimana setiap limbah harus kami pilah-pilah karena itu merupakan ketentuan pengiriman limbah B3,” urainya.
Tetapi, justru hal itu dipertanyakan oleh BC Batam khususnya tentang institusi mana yang menjamin hal kemasan, asal limbah dan ada jaminan bahwa limbahnya tidak berasal dari luar negeri. Dengan kewenangan yang dimiliki KLHK, Barani melanjutkan semestinya mereka tidak perlu ragu menjawab hal tersebut dikarenakan KLHK yang memiliki kebijakan tersebut.
Namun sejak sosialisasi manifest elektronik hingga saat ini justru belum ada realisasi dan pengusaha masih menghadapi masalah pengiriman limbah dari Batam. Persoalan lain, tambah Barani yaitu kesiapan regulasi tentang administrasi sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur untuk membuat sistem masih belum memadai dan itu dikonfirmasi oleh pembicara dari KLHK. Terbukti, pengusaha yang ingin mengajukan permohonan manifest elektronik justru mengalami kesulitan saat mendownload. Sehingga, pengusaha menganggap bahwa perubahan sistem tersebut tidak memenuhi harapan tentang pengelolaan limbah B3 yang baik. Seharusnya, sebelum sistem itu menjadi sistem yang mudah diakses maka KLHK tidak lantas menutup sistem pendokumentasian menggunakan kertas seperti sebelumnya.
Pengusaha, kata Barani sering kali kesal dengan sikap pemerintah yang tidak mengundang pengusaha saat pembahasan polemik pengiriman limbah B3. Bahkan, keputusan yang diambil juga tidak mengikutsertakan pengusaha B3. Pengusaha memang pernah diundang saat sosialisasi selama tiga kali, namun setelah kebijakan ini stagnan dan terus difollow up di media justru instansi bersikap antipati. Meski sudah lewat 90 hari, namun pemerintah juga belum bertindak. Pemerintah, kata Barani seakan-akan lebih mementingkan aturan ketimbang limbah B3
“Jadi kami tidak pernah diundang lagi sehingga kehilangan informasi. Saya sempat bertanya kenapa pengusaha tidak diundang untuk membahas persoalan yang dihadapi. Jadi memang instansi terkait terkesan tidak serius menangani persoalan ini. Persoalan pengiriman limbah B3 ini sudah berlangsung enam bulan dan kalau ditinjau dari sisi hukum tentu saja pemerintah juga akan terkena imbasnya,” paparnya.
Sementara, Ketua Harian Aspel B3, Arlon Veristo mengatakan bahwa polemik pengiriman limbah B3 dari Batam ke daerah lain di Indonesia dikarenakan instansi terkait bertele-tele dan tidak ada satu pun yang bertanggung jawab. Hal tersebut, kata Arlon sebab polemik ini sudah berlangsung selama enam bulan.
“Kalau kita lihat kondisi KPLI di Kabil selama enam bulan polemik ini, maka tidak ada tempat lagi untuk limbah B3 di sana. Kalau ini dibiarkan terus maka limbah-limbah tersebut tidak akan terangkut lagi dan kalau memang tidak ada tempat lagi di KPLI maka kami tidak akan mengangkut limbah B3 lagi ke sana (KPLI, red). Kemudian ada lagi aturan manifest elektronik dan itu jadi solusi polemik pengiriman limbah, namun sampai hari ini namun tidak juga bisa menyelesaikan masalah,” paparnya.
Arlon mengaku belum berakhirnya polemik pengiriman limbah B3 itu menjadi preseden bahwa instansi terkait seperti KLHK, DLH Kota Batam dan BC masih belum serius menyelesaikan persoalan tersebut. Dicontohkan Arlon, Kantor Bea Cukai (BC) melempar bola dan minta surat ditujukan ke DLH Kota Batam. Sementara, DLH Batam terkesan buang badan karena mereka sudah tidak lagi mengeluarkan surat keterangan (Suket).
“Kalau sudah seperti ini lantas limbah B3 yang ada mau diapakan? Kalau dibiarkan maka Batam akan jadi kota limbah. Kenapa saya bilang seperti itu karena TPS di industri sangat terbatas dan TPS di KPLI juga terbatas. Kalau produksi limbah B3 tersebut berlangsung lantas mau dikemanakan limbah tersebut?” tanyanya.
Dampak dari belum bisa dikirimnya limbah B3 itu juga berdampak ke lingkungan. Arlon mengaku polemik ini berdampak langsung ke pengusaha, namun dampak terbesar jika limbah tidak bisa dikirim ke luar Batam adalah ke lingkungan. Kalau limbah tidak diangkut, dibiarkan dan ditumpuk tanpa diolah maka dampak ke lingkungan akan luar biasa.
Arlon mengaku pihaknya kecewa terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Pasalnya, petugas KLHK datang dan menjanjikan solusi dengan pemberlakuan manifest elekronik. Bahkan, secara khusus Arlon mengungkapkan harapannya saat sosialisasi manifest elektronik bahwa usai kegiatan tersebut limbah B3 bisa langsung dikirim keluar Batam. Sepekan setelah pertemuan sosialisasi itu, namun belum ada solusi konkret terhadap polemik tersebut.
“Artinya apa? Apapun yang kita lakukan justru tidak ada artinya sehingga pengusaha jadi bingung limbah yang menumpuk ini mau diapakan. Kalau memang limbah ini tidak dikelola lagi maka jelas kita bersikap dan kita berhenti mengolah limbah B3 ini. Kesannya seakan-akan pengusaha saja yang butuh, pemerintah tidak,” sesalnya.
Padahal, kata Arlon, pengusaha merupakan penyangga industri yang ada di Batam. Jika transportir limbah tidak beraktivitas di Batam maka tidak ada yang mengangkut limbah B3 di Batam, maka lama kelamaan Batam akan menjadi kota limbah.
“Sekali lagi instansi terkait tidak serius dan terkesan bertele-tele dalam mengurus limbah B3. Kita mau melihat keseriusan instansi terkait persoalan limbah yang ada di Batam,” paparnya.
Penasehat Aspel B3 Batam, Kurniawan Chang mengatakan pengusaha sepakat bahwa limbah B3 dikirim keluar Batam dengan manifest elektronik. Namun, kata Kurniawan, KLHK tidak melihat dan tidak membaca bahwa praktik di lapangan tidak sesederhana yang dipikirkan. Pasalnya manifest elektronik (e-manifest) tersebut ada penghasil, transportir dan tujuan yang wajib memiliki akun. Sebenarnya transportir tidak ada masalah namun masalah ada pada penghasil limbah.
“Kita harus ingat bahwa penghasil limbah di Batam beda dengan Pulau Jawa. Batam adalah pulau dan juga daerah transit. Sekarang kapal asing yang transit di Batam dan punya limbah B3 yang harus diterima, nah status limbahnya seperti apa? Ini yang harus di-clearkan oleh instansi tersebut. Apakah ini termasuk limbah impor atau bagaimana. Ini sebenarnya esensi dari polemik pengiriman limbah B3 dari Batam keluar daerah lain,” paparnya.
Kurniawan mencontohkan, aki, sludge oil, oli bekas yang banyak berasal dari luar negeri. Tetapi sudah sampai di Batam saat masih berbentuk produk dan setelah dipakai menjadi limbah B3 tapi limbahnya merek luar negeri seperti aki merek luar negeri, oli dari luar negeri, sludge oil dari kapal asing. Identifikasi limbah yang harus diclearkan apakah limbah impor atau limbah yang dihasilkan oleh Batam.
Jika persoalan itu tidak diclearkan, kata Kurniawan maka kondisi ini tetap akan seperti sekarang. Termasuk, pabrik di Batam yang menggunakan material dari luar negeri setelah produk. Setiap pabrik yang beroperasi maka akan menghasilkan limbah dan itu harus disepakati apakah merupakan limbah impor atau limbah dalam negeri. Kalau ini belum dijelaskan oleh instansi terkait apakah itu merupakan limbah dalam negeri atau limbah impor maka kondisinya akan tetap sama seperti sekarang.
“Jadi persoalannya bukan di manifest elektronik, karena manifest elektronik itu sudah kita lakukan sejak dua tahun lalu.
Sementara, Kabid Pengawasan dan Penindakan Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Ip mengatakan pihaknya konsen untuk bisa segera menyelesaikan persoalan pengiriman limbah B3 dari Batam ke luar. Yang terbaru, kata Ip akan ada surat yang memuat koreksi tentang pelabelan limbah B3 dan pengawasan menjadi tanggung jawab perusahaan pengumpul dan penghasil limbah B3.
“Kita harapkan surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke Bea Cukai bisa segera keluar, sehingga persoalan pengiriman limbah B3 dari Batam ke luar bisa diselesaikan,” ujarnya.
Ip mengaku pemberlakuan sistem manifest elektronik memang berdampak pada tidak bisa dikirimnya limbah B3 dari Batam ke luar. Pengusaha limbah B3 pun, kata dia mengeluhkan persoalan tidak bisa dikirimnya limbah B3 dari Batam ke luar daerah sehingga gudang penyimpanan limbah B3 menjadi penuh.
“Dampak pasti ada, tapi masih bisa dikendalikan,” pungkas Ip (heri)6