Saat memimpin rapat bersama TNI/Polri secara tertutup, Senin (15/2), Jokowi sempat membahas soal kemungkinan merevisi UU ITE.
Jokowi menilai pemerintah bisa saja mengusulkan revisi UU ITE ke DPR jika aturan ini memberi ketidakadilan kepada masyarakat. Jokowi mengaku melihat banyak pihak yang saling melaporkan dengan dasar UU ITE, dan tidak sedikit yang merasa dirugikan.
“Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya, saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini, UU ITE ini,” kata Jokowi dalam rekaman video yang baru diunggah di akun YouTube Setpres.
“Karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini, revisi. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” lanjut Jokowi.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (1)
Presiden Jokowi saat pimpin ratas tentang Pendisiplinan Melawan Covid-19, Istana Kepresidenan Bogor. Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden
UU ITE memang pernah direvisi saat Rudiantara menjabat sebagai Menkominfo. Tetapi, revisi bersifat terbatas dan hanya menyangkut jumlah masa penahanan minimum dan maksimum untuk kasus tertentu, yakni maksimal tidak lebih dari 5 tahun.
Sementara, pasal polemik seperti 27 ayat 3 tidak direvisi. Pasal 27 ayat 3 UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Selain itu, terdapat satu pasal lagi, yakni Pasal 28 ayat 2 yang bertuliskan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Bagaimana respons dari berbagai kalangan soal sinyal Jokowi revisi UU ITE?
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (2)
Christina Aryani. Foto: Instagram/@christinaaryani
Setuju, Banyak yang jadi korban
Anggota Komisi I DPR F-Golkar, Christina Aryani, mendukung pernyataan Jokowi. Ia menilai pasal-pasal dalam UU ITE telah membuat banyak masyarakat resah ketika memberikan pendapatnya maupun berorganisasi.
“Bahwa penerapan pasal-pasal telah berkembang liar membuat resah dan gusar, bahkan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Tidak bisa dipungkiri banyak juga yang sudah menjadi korban atas penerapannya,” ujar Christina.
“Pada sisi ini kami mengapresiasi Presiden yang telah menangkap kegelisahan masyarakat ini,” lanjutnya.
Christina menilai, DPR juga banyak mendapat masukan dari masyarakat terkait urgensi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE. Terutama pasal yang berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerjemahannya.
“Apa yang disampaikan Presiden kemarin sebenarnya meminta agar Kapolri membuat pedoman interpretasi resmi terkait pasal-pasal UU ITE yang berpotensi multitafsir. Pedoman mana selanjutnya digunakan oleh institusi kepolisian dalam menerima laporan atau menjalankan penyelidikan/penyidikan,” papar Christina.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (3)
Wasekjen PPP, Achmad Baidowi. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Kritik Tanpa Dipanggil Polisi
Sekretaris Fraksi PPP di DPR, Achmad Baidowi, mendukung penuh rencana Jokowi. Ia menilai UU ITE jangan sampai menimbulkan beban bagi pihak-pihak yang memiliki pemikiran kritis, terutama kepada pemerintah.
“Tapi jika memang sudah memenuhi unsur, ya, tetap bisa digunakan. Artinya. harus dipilah benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa dijerat UU ITE, ” tambahnya.Sementara itu, Ketua DPP PPP yang juga anggota Komisi I DPR, Syaifullah Tamliha, mengungkapkan, pernyataan Jokowi ini sekaligus merespons ucapan Wakil Presiden ke-10 dan 12 Indonesia, Jusuf Kalla (JK), yang menyebut tak jarang kritik yang disampaikan ke pemerintah berujung pada pelaporan ke polisi.
“Kami tentu sangat setuju atas gagasan Presiden Jokowi untuk kembali merevisi UU tersebut. Sekaligus untuk menjawab pertanyaan Pak JK tentang bagaimana menyampaikan kritik agar tidak dipanggil polisi,” tutur Tamliha.
“Ide dan gagasan Presiden Jokowi tersebut kita sambut hangat bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik,” tambahnya.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (4)
Anggota Komisi I F-Golkar Bobby Adhityo Rizaldi. Foto: Dok. Pribadi
Revisi UU ITE Bisa Terkait Pasal Pencemaran Nama Baik
Anggota Komisi I DPR Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, menilai pasal yang harus direvisi tergantung usulan pemerintah. Namun, ada pasal yang seringkali disebut karet karena sering menuai polemik. Salah satunya adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
“Hal ini bisa berupa inisiatif usulan pemerintah, seperti dulu juga, bukan mengganti keseluruhan. Tapi Pasal 27 ayat 3 yang banyak dipolemikkan,” ujarnya.
Selain itu, Bobby menekankan pentingnya pengaturan soal kebebasan berekspresi di media sosial. Hal ini penting agar fitnah atau saling menghina tak menjadi suatu kebiasaan di medsos.
“Menurut saya, harus tetap ada pengaturan mengenai kebebasan berekspresi khususnya ruang digital, agar dimaknai bahwa kebebasan itu tidak boleh digunakan untuk hal yang kontraproduktif, seperti menghina, fitnah, melakukan hal yang tidak menyenangkan orang lain dan seterusnya,” ujarnya.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (5)
Farhan di DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Foto: Giovanni/kumparan
Saatnya Disesuaikan Zaman
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan, mendukung penuh ide Jokowi tersebut.
“Kami sangat terbuka pada ide merevisi UU ITE karena memang UU ITE ini sudah berusia 13 tahun, saatnya disesuaikan dengan perkembangan zaman,” kata Farhan.
“UU ITE bagaimana pun harus menjadi pagar dan autokritik bagi kita semua dalam memanfaatkan media digital sebagai media kebebasan berekspresi,” tambah eks presenter itu.
Farhan berpendapat, media digital juga sudah berkembang secara teknologi dengan sangat pesat. Tetapi, pengaruh sosialnya bisa jauh lebih pesat dan luas lagi.
“Karena apa pun itu akan memberi dampak kepada masyarakat. Ajakan Presiden Jokowi sebetulnya adalah ajakan bagi kita untuk lebih dewasa dalam berdemokrasi,” tandas Farhan.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (6)
Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni saat membacakan laporan uji kelayakan calon Kapolri. Foto: Youtube/DPR RI
Tagih Janji Kapolri Setop Kriminalisasi Pakai UU ITE
Kapolri Jenderal Listyo Sigit telah menerima instruksi Jokowi dan berjanji akan mengevaluasi UU ITE dalam setiap menerima laporan.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menyambut baik pernyataan Listyo Sigit yang ingin mengedepankan Restorative Justice.
Sahroni akan menagih janji Sigit yang akan menghentikan kriminalisasi dengan UU ITE. Menurutnya, Polri harus berhati-hati menggunakan UU ITE, karena pihak pemberi kritik kerap berujung pada laporan ke kepolisian menggunakan UU ITE.
“Jadi polisi juga harus sangat berhati-hati dalam menggunakan pasal dalam UU ITE, agar jangan yang terjadi malah pembungkaman atas aspirasi masyarakat,” tegas dia.
“Karenanya, saya akan tagih dan kawal janji Kapolri untuk setop kriminalisasi dengan UU ITE,” tutup Bendahara Umum NasDem itu.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (7)
Anggota Komisi IX DPR, Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay Foto: Dok. Pribadi
Jangan Sampai Ada Pasal Karet Baru
Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Daulay, mengaku partainya menyambut baik pemerintah.
Saleh pun yakin mayoritas fraksi di DPR akan menyetujui rencana revisi UU ITE. Sebab, urgensi perubahan dalam UU ITE dianggap mendesak.
“Menurut saya, urgensi perubahan UU ITE ini juga sudah dirasakan oleh semua fraksi yang ada. Jadi, kalau nanti ada usulan itu, diyakini akan disetujui mayoritas fraksi,” kata dia.
Meski begitu, Ketua DPP PAN itu memberikan catatan terhadap sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam revisi UU ITE. Pertama, perubahan tersebut harus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi yang ada.
Sebab, kata dia, teknologi informasi ini perubahannya sangat cepat. Dia pun mengingatkan jangan sampai muncul pasal karet lain dalam hasil revisi UU ITE.
“Kalau mau direvisi, sekalian disesuaikan dengan perkembangan IT kontemporer. Termasuk perkembangan media-media sosial. Juga situasi pandemi di mana masyarakat banyak beraktivitas dengan menggunakan internet. Namun, tetap hati-hati agar tidak ada pasal-pasal karet lain yang mudah menjerat seperti sebelumnya,” ujarnya.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (8)
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
Usulan Revisi UU ITE Harus dari Pemerintah
Anggota Baleg DPR Fraksi PKS, Almuzammil Yusuf, menilai usulan Presiden Jokowi itu sangat baik.
Pasalnya, menurut Muzammil, RUU Omnibus Law yang paling berat bisa langsung dirumuskan dan diusulkan oleh Pemerintah dengan cepat. Apalagi, UU ITE.
“Usulan perubahan ini jika terjadi, bagus di mata publik. Menunjukkan bahwa Pemerintah memang serius dengan ucapannya untuk membuka ruang dialog publik yang cerdas, lugas, kritis serta konstruktif tanpa ‘ancaman’ kriminalisasi oleh para Buzzer pro pemerintah yang anti kritik,” papar Muzammil.
Lebih lanjut, Muzammil berpendapat, kepolisian dan kejaksaan akan sangat membantu perumusan RUU ITE perubahan. Sebab, mereka sangat tahu masalah pasal karet selama ini yang mengancam reformasi dan demokrasi.
Sementara itu, pasal-pasal yang sudah baik seperti larangan pelecehan SARA (Suku Ras dan Agama) harus tetap dipertahankan.
“Itu wilayah yang harus saling menghormati demi pengukuhan sila Ketuhanan YME dan sila persatuan Indonesia,” pungkas Muzammil.
Ramai-ramai Dukung Revisi UU ITE (9)
Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil menanggapi pengunguman 40 nama capim KPK oleh Pansel. Foto: Abyan Faisal Putratama/kumparan
Multitafsir dan berpotensi over-kriminalisasi
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Jokowi untuk merealisasikan pernyataannya.
Koalisi ini terdiri dari ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI.
Ada sejumlah alasan yang diungkapkan koalisi terkait perlunya UU ITE untuk direvisi beserta alasannya.
Pertama, Koalisi menilai seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi over-kriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus.
Beberapa contoh pasal yang harus dihapus yaitu, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur ‘melanggar kesusilaan’. Ini dinilai kerap digunakan untuk menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan seringkali memicu diskriminasi gender.
Lalu, Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital.
Terakhir, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dinilai tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal penyusunan yaitu menindak pidana propaganda kebencian.
“Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Lebih memprihatinkan, pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden,” kata koalisi.
Alasan kedua, Koalisi beralasan proses ‘fair trial’ dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus kembali diberlakukan.
Ketiga, pengaturan mengenai blocking dan filtering juga dinilai harus direvisi. Koalisi menilai, meski kewenangan tersebut memang sudah seharusnya dimiliki pemerintah untuk menegakkan hukum, tetapi perlu adanya kontrol agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Editor : Aron
Sumber : kumparan