Operator seluler Indonesia telah melakukan uji coba teknologi 5G, bahkan sejak 2018. Lalu, bagaimana dengan spektrum frekuensi yang ibaratnya sebagai jalan tol bagi 5G ini?

Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum menentukan spektrum frekuensi yang akan digunakan untuk menggelar layanan 5G. Meskipun, operator seluler telah melakukan serangkaian uji coba teknologi tersebut dan di saat bersamaan negara lain telah mengimplementasikannya.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Kominfo Ismail menjelaskan bahwa untuk menggelar layanan 5G di Indonesia itu harus di waktu yang tepat dan teknologi seluler jaringan keenam itu memang sudah dibutuhkan.

5G harus lengkap agar kita bisa menempatkan band yang maksimal dari layanan 5G, maka idealnya seluruh 5G ini memiliki spektrum frekuensi 5G, baik itu coverage layer (low band), capacity layer (middle band), dan super daya layer (high band),” jelasnya beberapa waktu lalu dalam diskusi online.

“Tiap layer ini punya masalah di Indonesia, sehingga perlu kami selesaikan terlebih dahulu agar jumlah spektrum frekuensi yang tersedia itu cukup memadai untuk menjadi operator ideal dalam menjalankan 5G,” ucap Ismail menambahkan.

Ismail kemudian memaparkan, untuk isu di low band, pemerintah tengah berupaya menyelesaikan persoalan di band ini, yakni 700 MHz. Di frekuensi tersebut untuk saat ini digunakan untuk penyiaran.

“Mudah-mudahan kita bisa selesaikan dalam dekat ini setelah Undang-Undang Cipta Kerja ditetapkan, maka coverage layer 700 MHz yang terkait digital dividen pindah dari TV analog ke TV digital itu bisa ditetapkan waktunya, sehingga frekuensi tersebut dapat bisa dirilis segera,” kata Dirjen SDPPI.

Untuk capacity layar yang ada di band 2,3 GHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz ini juga tak terlepas dari pembahasan dengan pihak terkait. Disampaikan Ismail, untuk 2,3 GHz dijanjikan akan segera dirilis. Sedangkan, 2,6 GHz masih menunggu karena pemerintah sedang berdiskusi secara intensif untuk melakukan early termination, yang diharapkan dirilis setelah berakhirnya satelit broadcasting yang saat ini menggunakan frekuensi ini.

“Berikutnya 3,5 GHz sedang lakukan uji coba lapangan yang itensif dengan teman-teman operator dan penyelenggara satelit untuk menemukan possibility melakukan coexisting di sana antar 5G dengan satelit,” ungkapnya.

Sementara untuk super data layer, yaitu 26 GHz dan 28 GHz, Ismail mengatakan, persoalan di spektrum ini tidak ada masalah, sebab band ini memang sudah tersedia. Akan tetapi, bila memanfaatkan spektrum super data layar, operator harus menanam investasi dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, pemerintah seperti dikatakan Ismail, tidak ingin buru-buru sebelum persoalan di masing-masing band sudah terselesaikan.

“Bahwa spektrum frekuensi ini, untuk bicara ideal lima operator besar seluler yang sekarang, sangat berat untuk dipenuhi seluruh operator. Jadi mau tidak mau, suka atau tidak suka, melakukan pendekatan baru dari penyelenggaraan 5G ke depan dalam pemanfaatan spektrum frekuensi. Ini yang kita sebut dengan kerja sama frekuensi,” jelasnya.

Ismail juga menegaskan dalam pembangunan infrastruktur 5G, juga harus memperhatikan infrastruktur pasif yang dalam hal ini melingkupi mencakup bidang civil, mechanical, dan electrical, termasuk pipa (duct), tiang, menara, kabinet, manhole, handhole, ruang shelter dan lainnya. Penyelenggara 5G layanan diwajibkan menyiapkan infrastruktur aktif dan pasif.

“Tidak kalah pentingnya infrastruktur pasif, ini dari tower, dubbing, rate of way, kemudahan menyiapkan bangunan, ini isu lama terkait masalah dengan pemerintah daerah, policy dan regulasi di masing-masing daerah pemerintah daerah menjadi satu isu harus segera diselesaikan, mengingat infrastruktur 5G membutuhkan kerapatan BTS yang sangat tinggi, masif, sehingga kecepatan pembangunan tergantung ketersediaan infra pasif ini,” pungkasnya.

 

 

 

Editor : Parna

Sumber : detiknews