Pojok BatamKalangan peternak mengeluhkan tingginya harga jagung sebagai bahan baku pakan. Harga jagung saat ini terus melonjak, bahkan telah menembus Rp 5.300 per kilogram akibat minimnya stok di pasar. Tingginya harga jagung menyebabkan lonjakan harga pakan yang semakin menekan peternnak.

“Kami meminta DPR untuk melakukan evaluasi kinerja pemerintah soal jagung. Keberadaan stok jagung berapa, dibandingkan kebutuhan kita berapa, serta produksi kita per bulan berapa. Cadangan kan tidak ada, Bulog kan tidak ngumpulin jagung,” ungkap Presiden Peternak Layer (ayam petelur) Nasional, Ki Musbar Mesdi, Rabu (31/10).

Harga jagung yang mencapai harga Rp5.300/kg menjadi indikasi minimnya ketersediaan. Sementara, kebutuhan jagung untuk bahan pakan ternak sangatlah tinggi, mencapai 780 ribu ton per bulan. Ia khawatir dalam kurun waktu bulan Desember hingga Maret mendatang, akan terjadi kekurangan stok jagung.

“Ini mempertaruhkan nasib 1,8 juta pelaku peternak unggas. Nasibnya mau dikemanakan?” tegasnya.

Lebih jauh Ia juga mempertanyakan tidak adanya antisipasi yang dilakukan oleh Kementan, terkait siklus tingginya harga jagung pada periode Juli-September, yang disebabkan karena minimnya suplai.

Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman di kesempatan berbeda, mengatakan senada. Ia menduga pemerintah akan melakukan impor bahan baku pakan ternak, sebagai solusi. Namun, ia tetap berharap komoditi yang diimpor adalah jagung, bukan gandum.

Sudirman juga khawatir akhir tahun ini, hingga awal tahun depan, mahalnya harga jagung akan terus memburuk, alias harga makin tinggi.
Ia mengatakan, konsumen ayam dan telur lebih memilih daging ayam yang kakinya berwarna kuning. Lalu juga telur yang warna kuningnya lebih terang.

Terhadap kondisi ini, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy menyatakan, sudah sewajarnya pemerintah juga fokus untuk membenahi data jagung nasional.

“Ketika data salah, maka kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak efektif. Salah satu contoh dimana data pangan Indonesia tidak akurat dan berpengaruh terhadap kebijakan Indonesia adalah pada tahun 2015 dimana pemerintah memutuskan untuk membatasi impor dengan alasan suplai jagung mencukupi,” urai Imelda.

Pada kenyataannya, begitu impor jagung ditutup, para pengusaha beralih untuk mengimpor gandum sebagai pengganti jagung.

Logikanya, ketika data Kementerian Pertanian (Kementan) sudah benar, seharusnya tidak ada pengalihan penggunaan komoditas seperti ini.

Sebaliknya, Kementerian Pertanian menyanggah keterbatasan pasokan jagung di pasar. Kementerian ini menilai hasil panen lokal mencukupi, termasuk untuk kebutuhan pakan ternak.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menuturkan, masalah terjadi pada distribusi jagung. Lantaran sentra produksi jagung berjauhan dengan tempat produksi pakan ternak sehingga mempengaruhi harga jagung.

“Kita berharap ke depan, industri pakan itu bisa enggak mendekat kepada sentra produksi jagung. Sehingga itu akan memudahkan distribusinya nanti,” tutur Agung, Rabu (31/10).

Agung menukas, urusan distribusi pangan termasuk jagung bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementan, melainkan kementerian lain. Seperti Kementerian Perdagangan, PUPR, hingga Kementerian Perhubungan.

Leave a Reply