Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan akar dari ketegangan di Semenanjung Korea.
“(AS) adalah akar penyebab (ketidakstabilan),” kata Kim dalam pidato di sebuah pameran pertahanan yang dikutip AFP dari KCNA, Selasa (12/10).
Kim juga menuduh musuh bebuyutannya, Korsel, munafik. Korsel sendiri juga merupakan sekutu AS di bidang keamanan.
“Upaya mereka yang tidak terbatas dan berbahaya untuk memperkuat kekuatan militer menghancurkan keseimbangan militer di Semenanjung Korea dan meningkatkan ketidakstabilan dan bahaya militer,” tuturnya.
Pidato Kim muncul usai Korea Utara menguji coba rudal jelajah jarak jauh dan senjata hipersonik dalam beberapa pekan terakhir.
Sementara itu, selama ini AS menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korsel untuk mempertahankan serangan dari tetangganya, usai perang pada 1950.
Korsel dan AS juga sering menggelar latihan militer bersama, terakhir pada Agustus lalu. Tindakan itu selalu membuat marah Pyongyang, yang menganggapnya sebagai persiapan invasi Korut.
Di sisi lain, Korsel juga telah meningkatkan kemampuan militernya sendiri. Mereka berhasil menguji rudal balistik kapal selam pertamanya pada September dan mengungkap rudal jelajah supersonik.
Negara tetangganya, Korut, berada di bawah sanksi internasional atas senjata nuklir dan program rudal balistik.
Pada 2017, Kim menguji rudalnya yang bisa mencapai AS dan menjadikan itu sebagai senjata paling kuat hingga saat ini. Korut mengaku perlu persenjataan semacam itu untuk melindungi diri dari invasi AS.
Di samping itu, AS berulang kali menyatakan pihaknya tak berniat menjalin permusuhan dengan Korea Utara, tapi Kim merespons dengan skeptis.
“Saya ingin tahu, apakah ada orang atau negara yang percaya itu? Tak ada dasar dalam tindakan mereka yang percaya bahwa itu tak bermusuhan,” kata Kim.
Pada 2018 lalu, Kim menjadi pemimpin Korea Utara pertama yang bertemu dengan presiden AS, yaitu Donald Trump, di konferensi tingkat tinggi Singapura untuk membicarakan program anti-nuklir.
Namun, proses pembicaraan terhenti sejak pertemuan kedua di Hanoi pada 2019 yang gagal, karena keinginan Korut untuk pencabutan sanksi sebagai imbalan jika mereka meniadakan program nuklir..
Saat pemerintahan AS berganti, Presiden Joe Biden menyatakan pihaknya bersedia bertemu dengan pejabat Korea Utara kapan saja atau di mana saja, tanpa prasyarat, sebagai upaya denuklirisasi.