Ilustrasi stroke (Foto: Getty Images/iStockphoto/designer491)

Sebuah studi baru mengungkapkan seseorang yang terus-menerus terpapar cahaya buatan pada malam hari dapat berisiko lebih tinggi mengalami stroke. Sumber cahaya tersebut termasuk cahaya dari lampu neon, lampu pijar, dan lampu LED.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah pada 25 Maret 2024 itu juga menyebutkan sekitar 80 persen populasi di dunia hidup di lingkungan yang tercemar cahaya. Hal ini disebabkan penggunaan cahaya buatan yang berlebihan.

Salah satu peneliti di departemen kesehatan masyarakat dan departemen endokrinologi RS Anak Fakultas Kedokteran Universitas Zhejiang, Hangzhou, China, Jian-Bing Wang, mengatakan sekalipun ada faktor lain yang dapat dicegah untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, seperti merokok, obesitas, dan diabetes melitus tipe 2, faktor lingkungan juga penting diperhatikan untuk mencegah penyakit tersebut.

Penelitian dilakukan terhadap 28.302 orang dewasa yang tinggal di China. Tingkat paparan cahaya malam di luar ruangan dilihat melalui citra satelit yang mampu memetakan polusi cahaya. Sementara kaitannya dengan kasus stroke dikonfirmasi melalui data rekam medis rumah sakit dan surat kematian pada penduduk di wilayah yang diteliti.

Hasil penelitian menunjukkan setidaknya sebanyak 1.278 orang mengalami penyakit serebrovaskular atau gangguan pada pembuluh darah di otak, termasuk stroke. Penelitian juga mengungkap orang dengan tingkat paparan cahaya luar ruangan tertinggi pada malam hari memiliki peningkatan risiko hingga 43 persen mengalami penyakit serebrovaskular dibandingkan mereka yang tingkat paparannya lebih rendah.

Tak hanya itu, risiko penyakit serebrovaskular juga lebih tinggi hingga 41 persen pada orang dengan tingkat paparan partikulat (PM) 2.5 yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat paparan PM 2.5 yang rendah. Paparan PM 2.5 ini bisa berasal dari emisi pembakaran bensin atau minyak.

Risiko lain yang juga perlu diwaspadai adalah paparan PM 10 dan paparan nitrogen oksida. Mereka yang terpapar PM 10 dengan tingkat tertinggi memiliki peningkatan risiko sampai 50 persen mengalami penyakit serebrovaskular dibandingkan orang dengan paparan PM 10 terendah.

Hal itu juga ditemukan pada orang dengan paparan nitrogen oksida tertinggi yang memiliki risiko 31 persen lebih tinggi mengalami penyakit serebrovaskular dibandingkan mereka dengan paparan yang rendah. Nitrogen oksida dapat ditemukan pada emisi dari mobil, truk, bus, dan pembangkit listrik.

“Studi kami menunjukkan bahwa tingkat paparan cahaya buatan di luar ruangan yang lebih tinggi pada malam hari mungkin menjadi faktor risiko penyakit serebrovaskular,” kata Wang, dikutip dari Science Daily.

“Oleh karena itu, kami menyarankan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah perkotaan, untuk mempertimbangkan mengurangi paparan tersebut untuk melindungi diri mereka dari potensi dampak berbahaya,” lanjutnya.

Paparan secara terus-menerus dari sumber cahaya tersebut pada malam hari dapat menekan produksi hormon melatonin yang berfungsi untuk mendorong seseorang untuk tidur. Jika terjadi dalam jangka panjang, ritme sirkadian seseorang termasuk ritme tidur seseorang pun dapat terganggu.

Padahal, orang dengan kualitas tidur yang buruk akan lebih berisiko mengalami gangguan kardiovaskular dalam jangka panjang. Life’s Essential 8 dari American Hearth Association juga menyebutkan bahwa tidur yang sehat sebagai salah satu dari delapan gaya hidup sehat untuk mendukung kesehatan kardiovaskular yang lebih optimal.

“Kita perlu mengembangkan kebijakan dan strategi pencegahan yang lebih efektif untuk mengurangi beban penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti polusi cahaya dan udara, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpadat dan paling tercemar di seluruh dunia,” kata Wang.

Hubungan antara masalah tidur dan risiko stroke juga ditunjukkan dari penelitian lain yang dipublikasikan American Academy of Neurology. Orang yang memiliki waktu tidur kurang dari 5 jam akan berisiko tiga kali lebih tinggi mengalami stroke dibandingkan mereka yang tidur dengan waktu rata-rata 7 jam.

Risiko stroke juga ditemukan pada orang yang mengalami gangguan pernapasan saat tidur. Risiko stroke pada orang mendengkur bisa mencapai 91 persen dibandingkan orang yang tidak mendengkur.

Salah satu peneliti dari studi tersebut, Christine Mc Carthy dari University of Galway, Irlandia, menuturkan, berbagai intervensi untuk memperbaiki kualitas tidur seseorang dapat membantu untuk mengurangi risiko stroke. Namun, seseorang juga perlu memperhatikan faktor risiko lain dari stroke, seperti merokok, depresi, dan kebiasaan mengonsumsi alkohol.

Editor: PARNA

Sumber: detikcom