Jaksa Agung ST Burhanuddin berharap agar hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi berani menindaklanjuti rencana pemberian hukuman mati bagi koruptor kelas kakap.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah diskusi daring bertajuk penerapan hukuman mati pada Kamis (25/11). Menurutnya, undang-undang memungkinkan hakim untuk menjatuhkan hukuman tersebut.
“Terobosan hukum berupa penjatuhan sanksi pidana mati dalam proses penuntutan saya berharap dapat ditindaklanjuti pula dengan terobosan hakim dalam memutus suatu perkara korupsi,” kata Burhanuddin saat memberi sambutan.
Ia merujuk pada sejumlah beleid perundang-undangan yang dapat digunakan oleh hakim dalam penerapan hukuman tersebut.
Misalnya, kata dia, dalam Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan dan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Beleid itu menjelaskan bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan dampak dan keuntungan terdakwa yang tinggi.
“Ketentuan dalam pasal ini dapat menjadi parameter bersama untuk dapat menerapkan hukuman mati bagi para koruptor,” ucap dia.
Burhanuddin mengatakan belum ada koruptor yang divonis hukuman mati oleh hakim sejak Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.
Namun demikian, Burhanuddin tak memungkiri bahwa masih terdapat sejumlah persoalan dalam penerapan pasal-pasal hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Misalnya, saat ini UU Tipikor belum menggunakan parameter nilai kerugian keuangan negara untuk menjatuhkan pidana mati.
Hal tersebut berbeda dengan Undang-undang Narkotika yang melihat parameter berat jenis narkoba yang diperkarakan untuk kemudian dapat memperberat hukuman hingga pidana mati.
Burhanuddin mendorong agar syarat-syarat ataupun keadaan khusus sebagaimana ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dapat diperbarui. Menurutnya pun, pemberian hukuman mati menjadi penting lantaran saat ini jenis dan modus korupsi sangatlah banyak.
“Mengapa dengan tindak pidana korupsi tidak diperlakukan parameter ini yang serupa dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan,” cetusnya.
Ia pun mengeluhkan proses eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa eksekutor selama ini kerap terkendala oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir Undang-undang sebelumnya.
Salah satu contoh ialah terkait upaya peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih dari satu kali merujuk pada putusan MK nomor 34/TPU/XI/2013 yang kemudian merevisi Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Lalu, putusan MK nomor 117/TPU/XIII/2015 yang kini membuat permohonan grasi dapat dilakukan tanpa batas.
“Kedua putusan MK tersebut berpotensi dapat menjadikan pelaksanaan putusan menjadi berlarut-larut manakala terpidana yang hendak dieksekusi tiba-tiba mengajukan permintaan PK atau permohonan grasi. Inilah yang menyebabkan tidak selesai-selesainya eksekusi,” jelasnya.
Pemberian hukuman pidana penjara yang panjang bagi koruptor, dinilai Burhanuddin hanya menjerakan pelaku korupsi.
Oleh sebab itu, ia menyatakan akan terus menyuarakan gagasan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Tujuannya, agar efek jera dapat dirasakan hingga ke masyarakat langsung dan bukan hanya pada terpidana kasus korupsi.
“Saya menegaskan kembali bahwa gagasan untuk menghukum mati koruptor adalah bentuk manifestasi kegalauan pemberantasan tipikor. Mengapa ribuan sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah ditindak, tapi justru kualitas dan tingkat kerugian negara justru semakin meningkat,” tukasnya.
Wacana pemberian hukuman mati bagi koruptor kelas kakap mendapat dukungan dari Ketua KPK Firli Bahuri. Menurut Firli jika konsep tersebut dimungkinkan oleh aturan hukum, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
“Setuju. Bahkan, saya pernah menyampaikan perlu dibuat pasal tersendiri sehingga 30 tindak pidana korupsi bisa dikenakan hukuman mati,” kata Firli, saat usai menghadiri Webinar Sinergitas Pemberantasan Narkoba, Korupsi dan Terorisme, di Mapolda Bali, Rabu (24/11).
Namun demikian, usulan tersebut kerap menuai polemik dari sejumlah elemen masyarakat sipil. Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai bahwa usulan tersebut hanya sebagai gimik yang diutarakan oleh para pemangku kebijakan terkait.
Ardi menilai, wacana itu dimunculkan untuk mengembalikan kepercayaan publik akibat kegagalan dua institusi tersebut untuk melakukan pemberantasan korupsi.