Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyebut pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kini bernama TNI, mestinya mengubahnya menjadi lembaga sipil dengan kultur pelayanan publik yang memuaskan.
Hal ini dikatakannya terkait desakan reformasi Polri menyusul sejumlah kasus kekerasan oknum aparat beberapa waktu terakhir.
Amiruddin menilai banyak pihak, baik di internal Polri maupun masyarakat sipil, saat ini lupa bahwa Polri merupakan lembaga sipil sejak berpisah dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lewat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
“Banyak orang lupa bahwa sebelum UU Polri yang baru tahun 2002 itu, Polri itu ABRI. ABRI itu artinya apa, dia sama dan sebangun dengan angkatan perang,” kata dia dalam diskusi yang digelar Imparsial, Senin (1/11) malam.
“Begitu UU berubah, posisi Polri hari ini adalah organisasi sipil. Nah ini yang perlu disepakati bersama,” tambahnya.
Dengan perubahan status itu, kata Amiruddin, meski dipersenjatai, anggota Polri adalah lembaga penegak hukum, sehingga mestinya memiliki kultur yang berbeda dengan angkatan perang. Oleh sebab itu, katanya, penggunaan senjata harus menjadi alternatif terakhir dalam penegakan hukum.
Sementara merujuk UU Kepolisian, Amiruddin menyoroti tiga tugas pokok Polri. Masing-masing yakni penegakan hukum, pelayanan publik, dan penanganan di daerah konflik, seperti Poso, Papua, dan beberapa daerah lain.
Di antara ketiganya, Amiruddin terutama menyoroti tugas Polri dalam hal pelayanan publik. Menurut dia, kemarahan publik kepada Polri dalam beberapa waktu terakhir adalah puncak kekesalan dari pelayanan publik Polri yang dinilai tak begitu memuaskan bagi masyarakat.
“Jika ini tidak disadari, muncul lah seperti yang kemarin itu banyak. Mulai dari Parigi, Medan, Tangerang. Bahkan, Kaltim gitu ya. Seseorang diduga mencuri HP, ditangkap polisi besoknya meninggal,” kata dia.
“Betapa bermasalahnya itu pelayanan publik,” tambahnya.
Amiruddin menilai, wacana reformasi di tubuh Korps Bhayangkara hanya bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, memperbaiki integritas anggota; kedua, Polri mampu menjelaskan tugas pokok mereka kepada masyarakat.
Menurut dia, kemarahan masyarakat dalam beberapa waktu terakhir mestinya bisa menjadi momentum perbaikan Polri dari dalam. Sebab, di sisi lain, kemarahan tersebut juga menunjukkan harapan masyarakat agar Polri bisa berubah.
“Kondisi tiga minggu itu alarm bagi polisi untuk membenahi diri ke dalam. Kenapa, ternyata di level tertentu pelayanan publiknya belum berjalan sesuai harapan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto menyebut tradisi kekerasan dan senioritas di Polri merupakan warisan masa lalu saat lembaga itu masih bernaung di bawah ABRI.
“Kalau reformasi 98, hitunglah sampai UU kepolisian lahir, berarti mereka-mereka yang dididik, dan lulus sampai tahun 2000 dia dibentuk masih dengan budaya kekerasan di lembaga pendidikan,” kata Benny, yang juga merupakan pensiunan inspektur jenderal polisi tersebut.