Foto: Thinkstock/Ilustrasi perasaan campur aduk ketika banyak hal dipikirkan

Masa-masa awal perkuliahan hingga memasuki usia 20+ menjadi titik transisi banyak orang menghadapi situasi baru. Beberapa orang mungkin mengalami banyak kekhawatiran akan masa depan, sakit hati dalam percintaan, selisih dengan keluarga dan sahabat, serta kondisi lainnya.

Semua hal yang dihadapi pada masa-masa transisi menuju kehidupan dewasa, sering memunculkan perasaan campur aduk. Ini artinya, pada masa-masa ini banyak orang akan mengalami banyak kebahagiaan, tapi di sisi lain juga kesedihan.

Seorang ahli saraf dari University of Southern California, Amerika Serikat, Anthony Gianni Vaccaro, mencoba menjelaskan situasi tersebut dengan menggunakan pendekatan neurosains.

Dia mencoba mengungkap bagaimana kondisi otak saat seseorang mengalami perasaan campur aduk. Bagaimana hasilnya?

Emosi Positif-Negatif dan Kondisi Otak Saat Merasa Campur Aduk
Selama ini, ilmuwan mendefinisikan emosi manusia menjadi dua kategori utama, yakni positif dan negatif. Klasifikasi ini didasarkan pada respons biologis, seperti detak jantung yang meningkat ketika takut atau keluarnya air mata ketika sedih.

Namun di sisi lain, emosi tidak selalu bisa dipahami melalui pendekatan biologis saja. Seseorang bisa saja merasa senang dan mengeluarkan air mata karena terharu, atau kondisi yang dikenal sebagai perasaan campur aduk.

Perasaan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai emosi positif maupun negatif sebagaimana dalam pendekatan biologi.

Untuk mempelajari perasaan campur aduk, Vaccaro menggunakan pendekatan neurosains atau ilmu saraf, dengan bantuan mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mengamati aktivitas otak saat seseorang mengalami perasaan campur aduk.

Dia meminta beberapa partisipan untuk menonton film animasi pendek dalam mesin MRI. Film ini menyajikan berbagai adegan yang memicu perasaan campur aduk kepada para partisipan.

Pada awalnya, MRI tidak menunjukkan pola yang jelas dan konsisten untuk emosi campur aduk di area otak seperti amigdala (bagian yang mengatur respons emosi) atau korteks insular (bagian yang menghubungkan daerah otak yang lebih dalam dengan korteks).

Namun, Vaccaro kemudian menemukan pola yang unik dan konsisten di daerah seperti anterior cingulate (bagian yang memproses konflik dan ketidakpastian) dan korteks prefrontal ventromedial (bagian yang berperan dalam pengaturan diri dan pemikiran kompleks).

“Daerah otak seperti anterior cingulate dan korteks prefrontal ventromedial mengintegrasikan banyak sumber informasi penting untuk membentuk emosi campur aduk,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari Science Alert.

Emosi Campur Aduk Bisa Membantu Mengatasi Perubahan Hidup
Peneliti mengatakan bahwa penemuan mereka sesuai dengan apa yang diketahui para ilmuwan tentang perkembangan otak dan emosi. Mereka juga memaparkan temuan menarik, bahwa seseorang baru mulai memahami atau melaporkan emosi yang campur aduk pada masa kanak-kanak.

Garis waktu ini sesuai dengan apa yang diketahui para peneliti tentang bagaimana perkembangan wilayah otak ini mengarah pada regulasi dan pemahaman emosi yang lebih maju.

Penemuan ini tidak hanya berguna untuk mengukur perasaan campur aduk yang sebelumnya sulit dideteksi melalui pendekatan biologis maupun psikologis, tetapi juga membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang peran perasaan campur aduk dalam kehidupan manusia.

“Pemahaman yang lebih baik tentang emosi yang campur aduk dapat membantu orang memastikan perasaan kuat ini menjadi kenangan berharga yang membantu mereka bertumbuh, alih-alih menjadi perpisahan yang menyedihkan yang gagal mereka atasi,” ujar Vaccaro, yang juga ahli neurosains dan peneliti di USC Dornsife College of Letters, Arts and Sciences.

Editor: PARNA

Sumber: detik.com