Oleh: Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.
(Serdik Sespimti Dikreg ke-33 T.A. 2024)

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan, bahkan bergantung pada manusia lain, sebab ia tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, karenanya perlu melakukan interaksi sosial (Jean Calvijn Simanjuntak, 2023: 13).

Dalam melaksanakan interaksi sosial, sangat dibutuhkan hubungan yang harmonis, saling menghargai dan saling menghormati, tergambar dalam suatu ikatan sosial (social bonding) yang kuat. Meski demikian, manusia tidak akan mungkin terhindar dari konflik, yang salah satu penyebabnya karena adanya kejahatan.

Harus diakui, kejahatan dapat merobek social bonding yang telah terbentuk, sehingga untuk mengatasinya perlu melibatkan semua pihak, baik pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban, maupun masyarakat. Tujuannya tidak hanya untuk menghukum atau menyadarkan pelaku, tetapi juga untuk memulihkan hak korban, agar ikatan sosial yang retak menjadi pulih kembali.

Dalam setiap masyarakat terbentuk pranata sosial untuk memelihara harmonisasi di masyarakat, yang dalam konteks hukum dikenal dengan mekanisme restorative justice. Tulisan ini menjelaskan restorative justice dikaitkan dengan tujuan mempererat social bonding untuk mencegah terjadi kembalinya kejahatan.

Penegak hukum sebenarnya juga merupakan penegak keadilan yang menegakkan hukum untuk kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Tatkala hukum ditegakkan namun tidak ditemukan rasa keadilan, maka para penegak hukum boleh mengambil tindakan di luar hukum.

Meski demikian, tindakan tersebut harus diambil secara bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan demi keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan yang lebih luas. Untuk itu, penegak hukum tidak boleh memandang  hukum  sebatas “law in the book” melainkan “law in action”. Hal ini menjadi dasar dari tindakan diskresi alternative dispute resolution dan restorative justice (Chryshnanda DL, 2023: 13)

Restorative justice adalah bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan menekankan pada pemulihan kembali keadaan, bukan pembalasan. Dengan perkataan lain, fokus restorative justice adalah untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh kejahatan dengan melibatkan korban, melihat pertanggungjawaban pelaku dan mencegah terjadinya kerugian yang serupa di masa mendatang (Jean Calvijn Simanjuntak, 2023: 17).

Substansi restorative justice adalah menyelesaikan konflik dengan melibatkan berbagai pihak untuk memulihkan kembali keadaan yang telah rusak, sehingga social bonding yang retak menjadi harmonis kembali.

Restorative justice sangat cocok untuk diterapkan dalam masyarakat Indonesia yang memiliki beragam suku, agama, ras, budaya, dan bahasa. Secara filosofis pendekatan restoratif bukan hal yang baru di Indonesia, sebab nilai-nilainya telah lama hidup dalam berbagai masyarakat adat. Secara sosiologis, nilai-nilainya telah lama diterapkan dalam kehidupan komunitas adat di Indonesia.

Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mengatur dan menerapkan restorative justice. Selain sejalan dengan falsafah bangsa, juga memiliki dasar hukum yang kuat dalam UUD 1945, sebagaimana termanifestasi dalam Pasal 1 ayat (3) yang menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, serta pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B). Polri juga telah menegaskan pengaturan restorative justice melalui Perpol No. 8 Tahun 2021 dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Berdasarkan Perpol No. 8 Tahun 2021, Polri mendorong masyarakat yang berkonflik untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan, bahkan Petugas Fungsi Pembinaan Masyarakat dan fungsi Samapta Polri dapat memfasilitasi atau memediasi antar pihak (Pasal 14 ayat (1) huruf b).

Hasil kesepakatan perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis disertai dengan pemulihan hak korban, untuk selanjutnya perkara yang telah ada laporan polisinya akan dibuatkan penghentian penyidikan melalui gelar perkara khusus. Pasal 6 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021 menegaskan, pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku, dapat berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan.

Tindak kejahatan yang terjadi pada suatu masyarakat menyebabkan keretakan social bonding yang menyebabkan harmoni dalam masyarakat terganggu. Keretakan kohesi sosial terjadi antara pelaku, korban, dan masyarakat/komunitas. Implementasi restorative justice akan mengembalikan harmoni sosial di masyarakat.

Kondisi ini akan terwujud apabila dalam proses restorative justice keterlibatan masyarakat di dalamnya sebagai bentuk pranata sosial terakomodir sehingga terbangun sense of belonging bagi warga masyarakat yang lain untuk menjaga dan memelihara harmoni sosial, mendorong terbangunnya keamanan sosial karena kejahatan dapat berkurang, dan pada akhirnya dapat mencegah terjadi kembalinya kejahatan.

Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H, anggota Polri berpangkat Komisaris Besar. Calvijn adalah peserta Serdik Sespimti Dikreg ke-33 T.A. 2024