Pojok Batam

Mengenal Toxic Positivity yang Tidak Baik untuk Kesehatan Mental

Sejak kecil, kita mungkin selalu diajarkan untuk melihat hidup dari sisi positifnya. Seberat apapun masalah yang dihadapi, kita diajarkan untuk selalu melihat sisi baik dari segala masalah dan mencoba untuk bangkit lagi.

Walaupun terdengar baik untuk dilakukan, hal ini sebenarnya bisa berbahaya bagi kesehatan mental. Terutama, bila kita menepis semua emosi negatif dan terjebak dalam toxic positivity.

Psychology Today mencatat, istilah Toxic Positivity digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang berpikir bahwa menjadi positif adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menjalani hidup. Artinya, orang ini hanya berfokus pada hal positif dalam hidup dan menolak mengakui emosi negatif.

Sekilas, hal ini mungkin terdengar baik untuk dilakukan. Namun, sebenarnya tidak begitu. Pertama, bisa jadi, kita sebenarnya sedang mengabaikan emosi negatif yang akan menumpuk dan membahayakan seiring dengan waktu. Kedua, bila selalu berusaha menepis perasaan negatif, bisa jadi kita mengabaikan sinyal bahaya yang dikirimkan oleh otak. Sehingga, kita justru akan jadi kehilangan kesempatan untuk menilai masalah dengan jernih dan jadi terjerumus kepada hal yang seharusnya kita hindari.

Apalagi, menurut seorang psikolog klinis asal Inggris Noel McDermott, kita tidak bisa memilih emosi mana yang ingin kita rasakan. Sebab, manusia didesain untuk memiliki perasaan atau tidak sama sekali.

“Kalau kita memilih untuk menghilangkan sebuah emosi, kita akan menghilangkan semua emosi yang ada dan menjadi kebal terhadap emosi yang menyenangkan maupun tidak. Kalau Anda berusaha menyingkirkan emosi negatif, Anda akan merusak seluruh perasaan Anda,” tuturnya.

Sehingga menurutnya, akan lebih baik bila seseorang bisa menimbang emosinya dan membuat sebuah ‘ketahanan’ dalam menghadapi masalah. Ini lebih bermanfaat bagi perkembangan dan kesehatan mental seseorang, daripada memutuskan untuk hanya merasakan hal-hal positif saja.

“Jika Anda menghindari perasaan yang menantang, atau menganjurkan agar orang lain menghindarinya juga, Anda mempersempit lingkup hubungan yang dimiliki dan Anda mempersempit pengalaman hidup yang bisa dimiliki,” ungkapnya.

Berhenti ‘memaksa’ orang lain menjadi positif

Melansir 7 News, Grazina Fechner, seorang ahli komunikasi dari Australia, menjelaskan bahwa toxic positivity membuat Anda merasa seolah tidak boleh mengeluh saat sedang mengalami masalah. Anda jadi merasa harus selalu bersikap ceria supaya merasa bahagia, padahal, secara realistis, ini tidak mungkin. Tanpa kita sadari, kita mungkin pernah menerapkan toxic positivity kepada orang lain.

“Selalu ada waktu untuk segala hal. Kalau teman Anda ingin mengeluh, perbolehkanlah. Berhentilah mengerjakan apa yang sedang Anda lakukan dan biarkan mereka mengeluarkan emosinya,” tutur Fechner, seperti dikutip 7 News.

Selain itu, Fechner juga menekankan bahwa kita perlu pandai membaca situasi. Pahami kapan Anda bisa memberikan suntikan semangat kepada teman dan kapan kita tidak boleh melakukannya.

Sebab, perlu dipahami bahwa kita tidak selalu bisa membuat orang lain merasa lebih baik dengan suntikan semangat ini. Melansir Refinery29, bisa jadi ini bukanlah hal yang dibutuhkan orang lain. Saat seseorang mengatakan apa yang mereka rasakan, kemungkinan besar, mereka ingin mendapatkan pengakuan atas perasaannya. Mereka ingin merasa bahwa masalahnya normal dan merasa didengarkan oleh orang lain.

Maka dari itu, daripada menghakimi maupun berusaha mencarikan jawaban, kita disarankan untuk mendengarkan masalah orang lain dengan sepenuh hati. Hal ini dinilai lebih baik bagi kesehatan mental mereka.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan

Exit mobile version