Presiden Suriah, Bashar al-Assad, berada di Moskow setelah kelompok oposisi Suriah menguasai Damaskus, pada Minggu (8/12). Kepergian Bashar menandai usainya dinasti keluarga Assad yang sudah memerintah Suriah selama 50 tahun lamanya.
Dikutip dari AFP, keluarga Assad sendiri mulai berkuasa di Suriah pada dekade 70-an, saat ayah Bashar, Hafez al-Assad yang saat itu jadi menteri pertahanan mengkudeta Salah Jadid, kompatriotnya sesama partai Ba’ath.
Pada 16 November 1970, kudeta tak berdarah itu terjadi. Beberapa bulan kemudian, pada 12 Maret 1972, Hafez al-Assad terpilih jadi presiden Suriah. Ia juga satu-satunya kandidat pada pemilihan presiden itu.
Hafez yang merupakan kepala negara Suriah pertama, yang berasal dari minoritas sekte muslim Alawite.
Pimpin Suriah di Sejumlah Perang
Pada 1973, Hafez memimpin Suriah dalam perang Yom Kippur. Mereka bertujuan merebut dataran tinggi Golan yang direbut Israel pada
Perang Enam Hari pada Juni 1967.
Serangan gabungan antara Mesir dan Suriah ini sukses pada awalnya. Tapi, di akhir perang, pasukan dari dua negara kembali dipukul mundur Israel.
Hafez juga memimpin Suriah pada perang Lebanon pada 1976. Saat itu, Lebanon tengah dilanda perang sipil. Suriah bersama Amerika Serikat ikut campur pada perang itu, karena permintaan dari kelompok Kristen Lebanon.
30 tahun kemudian, militer Suriah masih bercokol di Lebanon, dan jadi kekuatan politik utama di sana. Pada 2005, Suriah menarik seluruh pasukannya setelah tekanan internasional buntut dari dibunuhnya bekas perdana menteri Lebanon, Rafic Hariri.
Pembantaian Hama
Hafez al-Assad juga dikenal karena kekejiannya pada peristiwa pembantaian Hama, di Suriah Tengah. Pada peristiwa itu, ribuan orang dibunuh dan menjadikan pengalaman traumatik selama berdekade mendatang.
Pembantaian itu menyasar orang-orang yang tergabung dalam ‘Persaudaraan Muslim’. Tudingan dialamatkan pada kelompok ini, setelah pemberontakan bersenjata yang diakibatkan oleh kelompok ini.
Kelompok ‘Persaudaraan Muslim’ ini dituding terlibat pada serangan Aleppo pada 1979, yang mana ada 80 calon perwira militer yang berlatar belakang kelompok religius Alawites terbunuh.
Para kadet militer itu terbunuh dalam serangan senjata api, dan granat yang terjadi di akademi militer mereka.
Merapat ke Barat dan Berkoalisi dengan AS
Setelah bertahun-tahun terlibat tensi tinggi dengan Amerika Serikat (AS), Suriah di bawah Hafez al-Assad akhirnya mencoba berkomunikasi dengan mereka. Keputusan ini menyusul runtuhnya Uni Soviet yang jadi sekutu dekat Suriah.
Suriah bahkan jadi salah satu anggota koalisi yang dipimpin AS, pada Perang Teluk. Bersama AS, mereka memerangi Irak di bawah Saddam Hussein yang menginvasi Kuwait.
Amandemen Konstitusi agar Anaknya Berkuasa
Pada 10 Juni 2000, Hafez al-Assad meninggal dunia pada usia 69 tahun. Ia digantikan oleh putranya, Bashar al-Assad yang sudah dipersiapkan untuk menggantikannya.
Pada hari yang sama, parlemen Suriah mengamandemen konstitusi untuk menurunkan syarat usia jadi presiden di Suriah, dari 40 tahun ke 34 tahun.
Bashar sendiri lahir pada 11 September 1965, dan pada saat ayahnya meninggal ia masih berusia 34 tahun. Sehingga, ia memenuhi syarat sebagai Presiden Suriah.
Bashar secara resmi menjabat sebagai presiden pada 10 Juli 2000. Ia adalah satu-satunya kandidat dan terpilih dengan 97% suara.
‘Musim Semi Damaskus’
Pada September tahun pertama Bashar menjabat, 100 intelektual menyerukan agar Suriah mengakhiri status darurat militer yang berlaku sejak 1963. Mereka juga menuntut kebebasan dan sistem politik yang lebih plural.
Peristiwa ini dikenal dengan ‘Musim Semi Damaskus’ atau ‘Damascus Spring’. Sayangnya, kebebasan ini tak berlangsung lama.
Pada Juli 2001, Bashar mengakhiri kebebasan itu dan menangkap 10 orang lawan politiknya.
Perang Sipil Suriah
Pada Maret 2011, demonstran turun ke jalan. Mereka menuntut situasi yang lebih bebas di Suriah.
Ini merupakan domino, dari serangkaian revolusi Arab yang dimulai dari Tunisia, Libya, hingga Mesir.
Beberapa pemimpin berhasil digulingkan, tapi tidak dengan Bashar. Demonstran dihadapi Bashar secara brutal, sehingga meletuskan perang sipil yang berlangsung selama 14 tahun.
Suriah mengandalkan bantuan militer dari Rusia dan Iran. Mereka sempat merebut kembali 2/3 wilayah yang sempat direbut pemberontak kala itu.
Perang itu juga menewaskan 500.000 orang, dan jutaan orang lainnya mengungsi.
Kisah keluarga al-Assad akhirnya berakhir pada awal Desember ini. Pada periode 11 hari ofensif kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mereka berhasil merebut kota-kota penting Suriah dan merebut Damaskus yang membuat Bashar kabur ke Moskow.
Editor: PARNA
Sumber: kumparan.com