Ilustrasi cat dinding Foto: Shutterstock/

Anjuran mengenai penggunaan timbal dalam produk cat sudah tertuang dalam Standard Nasional Indonesia (SNI). Namun, di pasaran kerap ditemukan produk yang belum ber-SNI.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Cat Indonesia (APCI), Markus Winarto mengatakan hal itu umumnya terjadi pada produsen cat menengah ke bawah. Sebab, mengurus sertifikasi SNI memakan biaya yang tidak sedikit.

“Waktu saya cek bikin SNI untuk 1 produk Rp 18 juta. SNI ini hanya berlaku 4 tahun, jadi harus sertifikasi lagi. Tapi tiap tahun ada pemeriksaan surveillance lagi dan biaya surveillance Rp 14 juta. Berapa banyak jenis cat yang ada? Ratusan, warnanya beda-beda semua kan. Itu baru cat tembok dekoratif, belum yang lain-lain, cat kayu, cat kapal, cat otomotif, ratusan bahkan ribuan jumlahnya. Mau berapa besar biayanya, yang (produsen) kecil sanggup nanggung itu semua nggak? Kalau produsen besar tidak masalah kalau diwajibkan,” jelasnya kepada detikcom, Jumat (15/11/2024).

Ia mengatakan, produsen cat yang memakai timbal tidak hanya produsen kecil, tetapi produsen-produsen besar juga melakukannya. Meski demikian, ia menegaskan bahwa produk cat yang dihasilkan di Indonesia sudah memenuhi standard kandungan timbal sesuai anjuran WHO yaitu kurang dari 90 parts per million (ppm).
Ia juga menuturkan, produsen cat dari skala menengah ke bawah hingga ke kelas atas telah mengikuti anjuran yang ada di SNI walaupun belum semua produk cat tersertifikasi SNI. Jika ada proyek pemerintah yang menggunakan cat dekoratif, misalnya seperti pembangunan gedung, sudah dipastikan tersertifikasi SNI.
“Kalau untuk B2B (Business to Business) atau kayak kementerian, ini kan kalau kementerian sudah mewajibkan harus punya sertifikat SNI, misalnya Kementerian PUPR. Waktu itu kami sudah bilang ‘mengenai biaya gimana?’ ‘oh itu nggak masalah, masukkan semua cost ke harga produknya, nggak apa-apa’ dia bilang. Nah oke beres. Nah kalau di toko ritel, di pasar bebas, kita belum berani (mewajibkan) SNI,” tuturnya.
Markus mengungkapkan, hingga saat ini sertifikasi SNI memang masih sukarela karena beberapa faktor, salah satunya biaya. Namun, jika ke depan produk cat diwajibkan tersertifikasi SNI, ia menyarankan beberapa hal salah satunya adalah ketersediaan laboratorium yang sudah ada Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan juga alat laboratorium yang mumpuni.

“Untuk sertifikasi ini butuh LSPro, lembaga sertifikasi produk, yang lain itu belum punya, baru 3 yang punya (BBKK, B4T, dan Atmo). Dan ini juga masih terbatas. Kalau yang BBKK sama B4T itu masih terbatas di cat tembok emulsi dan cat tembok yang solvent based yang dekoratif itu, yang lainnya jenisnya banyak kita udah ada 42 SNI dari berbagai jenis cat,” ungkapnya.

“Padahal cat banyak, kayak cat kayu, cat marine, kenapa nggak dilengkapin? Alasannya itu peralatannya, alat lab-nya belum punya,” tambahnya.

Maka dari itu, saat ini yang bisa dilakukan adalah mengimbau produsen cat untuk mengikuti SNI dan mengurangi pemakaian timbal, baik pada produsen kecil menengah maupun produsen besar. Selain itu, edukasi terhadap masyarakat juga penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya timbal sehingga bisa memilih produk dengan kandungan timbal yang sesuai standard.

Editor: PARNA
Sumber: detik.com