Anjuran mengenai penggunaan timbal dalam produk cat sudah tertuang dalam Standard Nasional Indonesia (SNI). Namun, di pasaran kerap ditemukan produk yang belum ber-SNI.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Cat Indonesia (APCI), Markus Winarto mengatakan hal itu umumnya terjadi pada produsen cat menengah ke bawah. Sebab, mengurus sertifikasi SNI memakan biaya yang tidak sedikit.
“Waktu saya cek bikin SNI untuk 1 produk Rp 18 juta. SNI ini hanya berlaku 4 tahun, jadi harus sertifikasi lagi. Tapi tiap tahun ada pemeriksaan surveillance lagi dan biaya surveillance Rp 14 juta. Berapa banyak jenis cat yang ada? Ratusan, warnanya beda-beda semua kan. Itu baru cat tembok dekoratif, belum yang lain-lain, cat kayu, cat kapal, cat otomotif, ratusan bahkan ribuan jumlahnya. Mau berapa besar biayanya, yang (produsen) kecil sanggup nanggung itu semua nggak? Kalau produsen besar tidak masalah kalau diwajibkan,” jelasnya kepada detikcom, Jumat (15/11/2024).
“Untuk sertifikasi ini butuh LSPro, lembaga sertifikasi produk, yang lain itu belum punya, baru 3 yang punya (BBKK, B4T, dan Atmo). Dan ini juga masih terbatas. Kalau yang BBKK sama B4T itu masih terbatas di cat tembok emulsi dan cat tembok yang solvent based yang dekoratif itu, yang lainnya jenisnya banyak kita udah ada 42 SNI dari berbagai jenis cat,” ungkapnya.
“Padahal cat banyak, kayak cat kayu, cat marine, kenapa nggak dilengkapin? Alasannya itu peralatannya, alat lab-nya belum punya,” tambahnya.
Maka dari itu, saat ini yang bisa dilakukan adalah mengimbau produsen cat untuk mengikuti SNI dan mengurangi pemakaian timbal, baik pada produsen kecil menengah maupun produsen besar. Selain itu, edukasi terhadap masyarakat juga penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya timbal sehingga bisa memilih produk dengan kandungan timbal yang sesuai standard.
Editor: PARNA
Sumber: detik.com