Pojok Batam

Marak Kabar Pencabulan di Tempat Pendidikan, Kenapa Bisa Terjadi?

Foto: Ilustrasi pelecehan seksual (dok. iStock)

Belakangan kasus pencabulan terhadap anak oleh orang terdekat marak terjadi di sejumlah daerah. Pencabulan bahkan terjadi di lokasi yang seharusnya menjadi tempat anak mendapat pendidikan dan pengasuhan yang baik. Lantas apa penyebabnya?

Seperti diketahui kasus pencabulan terhadap anak dalam rentan waktu satu bulan terjadi di sejumlah daerah. Salah satunya di Panti Asuhan, Kunciran Indah, Kota Tangerang yang dilakukan Sudirman dan kawan-kawan.

Dari hasil pendataan, diketahui panti asuhan yang didirikan Sudirman itu, memiliki 18 anak asuh. Dari 18 anak asuh itu, dua di antaranya masih balita. Jumlah korban saat ini 8 orang yang semuanya laki-laki. Dari 8 korban, 5 orang berusia anak dan 3 lainnya dewasa.

Ada pula kasus pencabulan terhadap anak yang terjadi di tempat pengajian di Karangbahagia, Kabupaten Bekasi. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka yakni H alias Aki Udin (52) yang juga pemilik tempat pengajian dan anaknya MH (29). Keduanya melakukan modus ‘patroli’ malam hari dengan mengetuk pintu kamar tiap murid sebelum melakukan aksinya. Para korbannya merupakan murid yang mengaji di sana. Kasus ini terungkap setelah salah satu korban melapor kepada orangtuanya.

Belum sebulan berlalu pula, ada kasus yang sangat miris. Seorang guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kabupaten Gorontalo berinisial DH berusia 57 melakukan hubungan seksual dengan muridnya. Videonya tersebar viral. Kasus mengerikan juga terungkap di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seorang pegawai outsourcing office boy (OB) sebuah TK di Gamping bernama Hendrik (29) memerkosa 22 laki-laki di bawah umur, meski korban bukanlah anak-anak yang bersekolah di TK tersebut.

Kenapa semua ini bisa terjadi? Kriminolog anak dari Universitas Indonesia, Haniva Hasna mengungkapkan sejumlah faktor penyebab pencabulan itu bisa terjadi.

“Yang pertama itu ada relasi kuasa dan ketidak-berdayaan. Ada ‘powerfull’ dan ‘powerless’. Si pelaku itu biasanya pemilik dan orang dewasa. Jadi anak-anak di panti asuhan itu berada di posisi rentan dan dan seringkali tidak memiliki suara untuk melaporkan pelecehan,” kata Haniva saat dihubungi, Sabtu (12/10/2024).

Haniva menuturkan faktor selanjutnya yakni kurangnya pengawasan di tempat anak mendapat pengasuhan dan pendidikan. Sehingga, kata Haniva, pelaku pencabulan memiliki kesempatan melakukan pelecehan tanpa terpantau.

“Kedua, kurangnya pengawasan. Beberapa panti asuhan itu mungkin kekurangan staf atau pengawas yang memadai. Baik dari dalam maupun dari luar yang mereka itu memiliki ilmu tentang pengasuhan dan kekerasan seksual. Sehingga tempat itu menciptakan kesempatan bagi orang orang yang power full melakukan pelecehan tanpa terpantau,” tuturnya.

Haniva mengatakan stigma dan ketakutan pada anak membuat korban tidak berani mengungkapkan pelecehan yang terjadi. Sehingga hanya dipendam dan pelecehan terus berlangsung.

“Terus stigma dan ketakutan. Jadi anak-anak itu sering merasa takut atau malu ketika dia harus mengaku terhadap orang lain, terhadap pengalaman mereka. Lalu dia juga tidak akan menyampaikan karena dia takut dengan stigma yang ada di masyarakat atau paling mungkin adalah stigma dari teman-temannya,” ucapnya.

Dia menyampaikan pelaku kerap menggunakan teknik manipulatif untuk merayu korbannya. Para korban yang terkena manipulatif biasanya memiliki ikatan emosional dengan pelaku.

“Lalu manipulasi dari pelaku. Biasanya pelaku ini menggunakan teknik teknik manipulatif untuk mengelabui atau merayu korban. Ini biasanya dilakukan juga karena korbannya ini adalah anak-anak yang ada masalah emosional, ada keterikatan emosional dengan orang tua asuhnya atau pemilik panti sehingga dia diapa-apain aja dia mau. Bahkan mereka ketakutan untuk melawan. Karena cuma pelaku itu yang merawat dia nanti kalau dia enggak menurut dia harus ke mana gitu,” jelasnya.

Haniva mengatakan pelecehan terus terjadi lantaran sistem pelaporan lemah. Hingga membuat korban menikmati pelecehan yang diterima bahkan sampai menjadi pelaku.

“Lalu sistem pelaporan yang lemah, jadi tidak ada mekanisme pelaporan yang efektif dan yang responsif, bahkan dia tidak tahu harus melapor ke mana sehingga menjadi membuat anak-anak diam di situ. Bahkan ketika mereka juga tidak hanya menjadi korban, mereka ternyata sudah menikmati. Ketika mereka menikmati merasakan sensasi mereka menjadi pelaku juga terhadap teman-temannya,” kata Haniva.

“Lalu ada budaya keheningan budaya keheningan itu budaya impunitas. Budaya impunitas itu pelaku diyakini tidak akan melakukan kejahatan atau tidak pantas melakukan kejahatan kebal hukum dan tidak terlaporkan tidak tersentuh oleh hukum. Bisa jadi kalau dari eksternal pasien tidak gercep atau tidak berupaya untuk menegakkan hukum atau memang tidak ada yang melaporkan,” imbuhnya.

Editor: PARNA

Sumber: detik.com

Exit mobile version