Ilustrasi (Foto: detikcom/Thinkstock)

Sudah sejak lama peneliti mengukur risiko penyakit kronis berdasarkan indeks massa tubuh atau body mass index (BMI). Namun sebuah studi baru di China mengungkap bahwa indeks kebulatan tubuh atau body roundness index (BRI) menjadi indikator yang lebih baik dalam kaitannya dengan risiko penyakit kronis.

body mass index (BMI) adalah cara menghitung berat badan ideal berdasarkan tinggi dan berat badan. Sementara body roundness index (BRI) adalah cara menghitung berat badan ideal mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar pinggang, dan terkadang lingkar pinggul.

Penelitian tersebut meneliti 10 ribu orang dewasa di china berusia 45 tahun atau lebih. Mereka menggunakan data dari China Health and Retirement Longitudinal study, yakni orang dewasa China mengukur pinggang mereka setiap dua tahun sekali, dari 2011 hingga 2020.

Peneliti kemudian menganalisis lintasan pengukuran BRI dari waktu ke waktu, serta menempatkan peserta ke dalam tiga kelompok. Di antaranya BRI rendah, sedang, dan tinggi. Adapun rumus menghitung BRI adalah Lingkar Pinggang (cm)/Tinggi Badan (cm).

Nilai BRI lebih tinggi menunjukkan proporsi tubuh yang lebih bulat. Kondisi ini mengindikasikan adanya penumpukan lemak di area perut. Meski begitu, perlu diingat bahwa nilai BRI yang normal dapat bervariasi tergantung pada populasi dan faktor lainnya.

Lebih lanjut, selama empat tahun terakhir penelitian, dari 2017 hingga 2020, tercatat ada 3.052 kejadian terkait penyakit jantung, termasuk 894 kematian.

Peneliti menemukan bahwa risiko penyakit jantung pada kelompok BRI sedang 61 persen lebih tinggi daripada kelompok BRI rendah. Begitu juga perbedaan risiko antara BMI tinggi dan rendah adalah 163 persen.

Artinya, peserta yang memiliki BRI tinggi memiliki risiko penyakit jantung 163 persen lebih tinggi daripada peserta dalam kelompok BRI rendah.

Bahkan ketika peneliti melihat faktor-faktor seperti tekanan darah, kadar kolesterol, dan riwayat medis, orang-orang dengan BRI tinggi secara signifikan lebih mungkin terkena penyakit jantung.

“Temuan kami menunjukkan bahwa BRI stabil sedang hingga tinggi selama enam tahun tampaknya meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, yang menunjukkan bahwa pengukuran BRI berpotensi digunakan sebagai faktor prediktif untuk kejadian kardiovaskular,” kata penulis studi senior Dr Yun Qian, peneliti penyakit kronis di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Wuxi, Universitas Kedokteran Nanjing, China, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Newsweek.

“Hal ini dapat dijelaskan oleh korelasi antara obesitas dan hipertensi, kolesterol tinggi, dan diabetes tipe 2, yang semuanya merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Obesitas juga terbukti menyebabkan peradangan dan mekanisme lain dalam tubuh yang dapat memengaruhi jantung dan fungsi jantung,” lanjutnya lagi.

Peneliti mengatakan, BRI bisa menjadi prediktor yang lebih akurat dibanding BMI dalam mengukur risiko penyakit terkait gaya hidup, seperti penyakit kardiovaskular.

BMI telah lama dikritik sebagai instrumen kurang akurat karena tidak memperhitungkan komposisi tubuh.

Hal ini membuat seseorang dengan otot besar bisa digolongkan sebagai orang dengan obesitas karena memiliki BMI tinggi, padahal berat badan ekstra mereka berasal dari otot, bukan lemak.

Lebih lanjut, BRI secara khusus berfokus pada lingkar pinggang yang menurut penelitian sebelumnya bisa mengukur risiko penyakit jantung lebih akurat daripada obesitas yang ditentukan oleh BMI.

“Ini adalah studi besar pertama yang mengevaluasi BRI dari waktu ke waktu dan bagaimana hal itu dapat dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskular di kalangan orang dewasa China setengah baya dan lebih tua,” kata Qian.

Di sisi lain, penelitian ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Misalnya, para peneliti mengandalkan peserta untuk melaporkan serangan jantung, stroke, penyakit jantung koroner, atau kemungkinan kejadian diagnosis penyakit jantung lainnya.

Karena itu, data ini mungkin tak seakurat jika para ilmuwan atau dokter peserta menyampaikan informasi ini.

Selain itu, semua peserta adalah orang dewasa Tionghoa, denggan usia rata-rata 58 tahun, jadi hasil ini mungkin tak dapat digeneralisasikan untuk populasi dengan etnis dan usia yang berbeda.

Editor: PARNA

Sumber: detikcom