Seorang pria berusia 88 tahun yang merupakan narapidana hukuman mati terlama di dunia telah dibebaskan oleh pengadilan Jepang setelah bukti yang digunakan dalam kasusnya ternyata palsu.
Iwao Hakamada—yang menunggu eksekusi hukuman matinya selama hampir setengah abad—dinyatakan bersalah pada 1968 karena membunuh bosnya beserta istri dan kedua anak remaja mereka.
Pada 2014 dia diberikan kesempatan untuk diadili ulang di tengah kecurigaan bahwa penyelidik kala itu mungkin telah merekayasa bukti yang menyebabkannya dihukum atas pembunuhan empat orang tersebut.
Waktu 56 tahun yang dihabiskan di penjara telah berdampak buruk pada kesehatan mental Hakamada, yang berarti dia tidak layak menghadiri sidang yang berujung pada putusan pembebasannya.
Kasus Hakamada adalah salah satu kisah hukum terpanjang dan paling terkenal di Jepang dan telah menarik minat publik yang luas, dengan sekitar 500 orang mengantre untuk mendapatkan tempat duduk di ruang sidang di Shizuoka pada Kamis (26/9/2024).
Saat putusan dibacakan, para pendukung Hakamada di luar pengadilan bersorak “banzai”—seruan dalam bahasa Jepang yang berarti “hore”.
Hakamada, yang absen sepanjang sidang karena kondisi mentalnya yang memburuk, telah hidup di bawah asuhan saudara perempuannya yang berusia 91 tahun, Hideko, sejak 2014, ketika ia dibebaskan dari penjara dan diberikan kesempatan untuk diadili ulang.
Hideko berjuang selama puluhan tahun untuk membersihkan nama adik laki-lakinya dan mengatakan sangat tersentuh mendengar kata-kata “tidak bersalah” di pengadilan.
“Ketika saya mendengarnya, saya sangat terharu dan bahagia, saya tidak bisa berhenti menangis,” ungkapnya kepada wartawan.
Adiknya sebelumnya mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagaikan “bertarung setiap hari”.
“Begitu Anda berpikir tidak bisa menang, tidak ada jalan menuju kemenangan,” katanya kepada kantor berita AFP pada 2018.
Pakaian “bernoda darah” di tangki miso
Hakamada—mantan petinju profesional—bekerja di pabrik pengolahan miso pada 1966 ketika jasad majikannya, istri pria tersebut, dan dua anak ditemukan dalam kebakaran di rumah mereka di Shizuoka—sebelah barat Tokyo.
Keempatnya ditikam hingga tewas.
Pihak berwenang menuduh Hakamada membunuh keluarga tersebut, membakar rumah mereka, dan mencuri uang tunai sebesar 200.000 yen (sekitar Rp 20 juta dengan nilai tukar saat ini).
Hakamada semula membantah telah merampok dan membunuh para korban, tetapi kemudian memberikan apa yang ia gambarkan sebagai pengakuan yang dipaksakan setelah dipukuli dan diinterogasi selama 12 jam sehari.
Editor: PARNA
Sumber: kompascom