Foto: Getty Images/iStockphoto/Nattakorn Maneerat

Dongeng merupakan bentuk karya sastra yang memaparkan suatu kisah yang tidak benar-benar terjadi. Alurnya singkat, bahasanya sederhana, dan ceritanya menghibur.

Kisah dongeng juga biasanya mengandung pesan moral tertentu. Karena itu, dongeng cocok dibacakan pada anak-anak tingkat sekolah dasar (SD) untuk dipelajari isi kandungannya.

Sedang cari dongeng penuh makna? Temukan sederet dongeng menarik untuk anak SD beserta pesan moralnya di bawah ini.

Dongeng Pendek untuk Anak SD

Mengutip buku 101 Dongeng Sebelum Tidur oleh Redy Kuswanto, berikut sederet dongeng penuh makna untuk anak SD beserta pesan moralnya:
1. Batu di Tepi Danau Laut Tawar

Hiduplah sepasang suami istri dengan anak perempuannya yang cantik jelita di negeri Aceh. Selain cantik, ia juga rajin dan sangat menyayangi keluarga. Seorang pemuda tampan ingin meminang gadis itu. Ia berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya di negeri seberang. Si gadis menerima pinangan si pemuda setelah keluarganya memberi restu. Pesta pernikahan pun dilangsungkan dengan amat meriah.
Setelah beberapa hari, pemuda itu hendak pulang ke kampung halaman. Ia mengajak istrinya. Hati sang istri amat berat meninggalkan keluarga dan desanya. Namun, ia harus mengikuti ajakan suami sebagai tanda bakti dan kesetiaan kepada suaminya.

Anakku, tinggallah di negeri suamimu,” pesan sang ayah. “Ingatlah, selama dalam perjalanan, jangan menoleh ke belakang. Jika melakukannya, kau akan menjadi batu!”

Si gadis dan suaminya pun meninggalkan desa. Mereka memulai perjalanan jauh menuju negeri di seberang lautan. Hingga tibalah mereka di Danau Laut Tawar. Mereka menaiki sebuah sampan dan menyeberangi danau itu.

Saat sampan mengarungi danau, si gadis mendengar suara ibunya. Suara itu terus memanggil-manggil namanya. Kejadian itu berlangsung lama. Akhirnya si gadis lebih memilih menoleh. Petaka pun seketika terjadi.

Sesaat setelah si gadis menolehkan wajahnya ke belakang, tubuhnya berubah menjadi batu.

Betapa sedih hati sang suami. Karena terlalu cinta, sang suami ingin selalu bersama istrinya. Ia lantas memohon kepada Tuhan agar dirinya berubah menjadi batu. Selesai memohon, tubuh si pemuda berubah menjadi batu. Sepasang batu itu berada di tepi Danau Laut Tawar.

Pesan Moral: “Kita harus mematuhi nasihat orang tua dan hendaknya tidak mengingkari janji.”
2. Putri Ikan dan Danau Toba

Di sebuah desa, hiduplah seorang petani sederhana. Usia petani itu sudah cukup untuk menikah. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. Ia mendapatkan seekor ikan emas cukup besar.

Ikan itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Aku berutang budi padamu. Kau telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” katanya bahagia. “Karena kau telah menolongku, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu.”

Maka, jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada janji yang telah disepakati. Mereka tidak boleh menceritakan asal usul si gadis. Jika kelak dikaruniai anak, jangan sampai anak mereka tahu bahwa sang ibu adalah Putri Ikan. Jika janji itu dilanggar, akan terjadi petaka.

Setahun kemudian, sang Putri melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putra. Anak lelaki itu pun tumbuh menjadi anak yang manis, tetapi nakal. Putra mempunyai kebiasaan aneh. Ia selalu merasa lapar. Makanan untuk bertiga dapat dimakannya sendiri.

Suatu hari, Putra diberi tugas mengantarkan makanan ke sawah untuk ayahnya. Tetapi, ia menghabiskan makanan itu di tengah jalan. Tentu saja ayahnya murka karena harus menahan lapar dan haus.

“Anak tak tahu diri! Dasar anak ikan!” umpat si petani tanpa sadar.

Sesaat setelah mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya lenyap. Dari bekas injakan kaki mereka, tiba-tiba menyembur air yang sangat deras. Desa si petani dan sekitarnya terendam. Air meluap dan meluas hingga membentuk sebuah danau. Penduduk sekitar menyebutnya Danau Toba.

Pesan Moral: Jadilah orang yang sabar dan bisa mengendalikan emosi. Jangan melanggar janji yang telah kita ucapkan.
3. Ayam dan Ikan Tongkol

Raja bangsa ayam bernama Kukuru Raja dan raja bangsa ikan tongkol bernama Halili bersahabat karib dan sering bermain bersama. Kukuru suka mengajak Halili ke daratan. Begitu pula dengan Halili, ia sering mengajak Kukuru bermain ke laut.

Suatu hari, Kukuru mengajak Halili ikut pesta dansa di kampung nelayan. “Yuk, ikutan pesta dansa. Di sana banyak makanan lezat dan pertunjukan tari,” ajak Kukuru.

Halili pun tertarik dengan ajakan sahabatnya. “Baiklah, aku akan ikut. Pasti menyenangkan ikut pesta dansa,” sahut Halili.

Keesokan harinya, ketika senja menjelang, mereka sudah tiba di tepi pantai. Semua ikan tongkol dan ayam pergi bersama menuju pesta. Halili berpesan kepada Kukuru agar memberi tahu jika waktu fajar telah tiba. Jika tidak, bangsa manusia akan menyantap mereka.

Pesta pun berlangsung dengan meriah. Mereka menikmati suasana pesta. Karena kekenyangan, mereka pun tertidur lelap hingga melewati waktu fajar. Semua ikan tongkol ditangkap oleh nelayan di pagi hari. Halili merasa kesal karena Kukuru yang tidak menepati janji. Ia mengutuk bangsa ayam menjadi buta di malam hari. Ia juga bersumpah akan memakan semua ayam yang datang ke laut. Persahabatan pun menjadi permusuhan. Mungkin itulah sebabnya mengapa nelayan sangat mudah memancing tongkol dengan umpan bulu ayam.

Pesan Moral: Tepatilah janji karena ingkar janji akan merusak persahabatan.
4. Putri Tangguk

Putri Tangguk hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia bersama suaminya menanam padi di sawah yang hanya seluas tangguk (keranjang yang terbuat dari rotan). Sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi. Begitu seterusnya. Hal ini membuat Putri Tangguk sangat sibuk. Ia terkadang lupa mengurus anak-anak dan jauh dari tetangga.

Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya pergi ke sawah. Dalam perjalanan, tiba-tiba Putri Tangguk terpeleset dan jatuh. Putri Tangguk marah-marah. “Baiklah! Nanti setelah menuai padi, aku akan menyerakkan padi-padi di jalan ini agar tidak licin lagi.”

Hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu. Jalan pun tidak licin lagi. Setelah hari itu, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi. Ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Kesibukannya itu ternyata juga menyita waktunya. Ia pun tetap tak bisa bermain ke tetangga, apalagi mengurus anak- anaknya.

Putri Tangguk menenun hingga malam. Karena letih, ia pun tertidur dan lupa menanak nasi. Tengah malam, anak-anaknya terbangun secara bergiliran. Putri Tangguk berhasil membujuk mereka untuk kembali tidur. Namun, ketika anaknya si sulung bangun dan minta makan, ia justru memarahinya.

“Kamu sudah besar! Ambil sendiri nasi di panci. Kalau tidak ada, ambil beras dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi di lumbung dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk.

Si sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng. Ia segera ke lumbung dan tak menemukan apa pun. Ia pun melapor pada ibunya. Sang suami segera menuju ke lumbung. Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya. Setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa. Putri Tangguk yakin ada yang mencuri beras dan padi-padinya di lumbung.

Esoknya, ia dan keluarganya pergi ke sawah lagi untuk memanen. Namun, tak ada satu batang padi pun yang tumbuh. Yang ada hanya rumput- rumput liar. Mereka pulang ke rumah dengan kecewa dan sedih. Karena keletihan, Putri Tangguk tertidur dan bermimpi.

“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi lumbung-lumbung yang besar itu. Tetapi sayang, kamu orang yang sombong dan takabur. Kamu menyerakkan padi-padi di jalanan. Ketahuilah, bahwa di antara padi-padi yang kamu tabur itu, ada sebatang padi hitam. Dia adalah raja kami. Kami tidak bisa menerima perbuatanmu. Kami tidak akan lagi tumbuh di sawahmu. Mulai saat ini kamu harus bekerja keras seperti ayam. Kamu harus mengais-ngais terlebih dahulu, baru bisa makan.”

Putri Tangguk pun sangat sedih menyadari sifatnya yang sombong dan tidak bersyukur.

Pesan Moral: Kita harus rendah hati dan mensyukuri apa yang kita miliki.
5. Dua Gadis dan Ibu Kucing

Dahulu, hidup kakak beradik yang D cantik jelita bernama Sulung dan Bungsu. Tidak seorang pun tahu, ibu mereka adalah seekor kucing. Padahal, banyak pemuda yang tertarik dengan mereka.

Suatu hari, datang dua pemuda yang ingin meminang Sulung dan Bungsu. Sebelum menikah, Sulung dan Bungsu menyuruh mereka untuk meminta restu kepada ibunya. Kedua gadis itu kemudian memanggil ibu mereka yang sejak tadi belum menemui dua pemuda itu.

Betapa terkejutnya kedua pemuda itu ketika yang muncul adalah seekor kucing. Mereka tidak bisa menerima ibu Sulung dan Bungsu yang ternyata seekor kucing. Akhirnya, mereka membatalkan lamaran. Mereka tidak mau memiliki ibu mertua seekor kucing. Sulung dan Bungsu begitu malu dan kecewa. Mereka menyesal memiliki ibu seekor kucing. Akhirnya, mereka berpikir untuk mencari ibu baru yang lebih pantas.

“Maukah kau menjadi ibu kami?” pinta mereka pada Matahari. Namun, Matahari menolak. Matahari tidak sehebat yang mereka kira. Matahari akan terhalang saat awan datang. Maka, Sulung dan Bungsu pun menemui awan. Mereka berharap, awan mau menjadi ibu mereka.

“Aku tidak bisa menjadi ibu kalian,” tolak Awan. Ia akan terhempas ke gunung jika angin datang. Lalu, gunung akan menghalanginya. Akhirnya, Sulung dan Bungsu pergi mencari Gunung. Ternyata, Gunung pun menolak. Meskipun Gunung bertubuh besar, di tubuhnya banyak lubang. Tikuslah yang melubanginya. Sulung dan Bungsu akhirnya pergi mencari rumah Tikus.

Mereka masih tetap berharap dapat menemukan seorang ibu yang hebat untuk mereka. Mereka berhasil menemukan Tikus. Tetapi, tikus pun ternyata menolak. “Aku saja bisa dimakan kucing,” ucap Tikus. Tikus yang mereka anggap kuat, ternyata takut pada seekor kucing. Setelah itu barulah Sulung dan Bungsu sadar. Ternyata ibu merekalah yang paling hebat. Mereka sangat bersalah pada sang ibu. Sulung dan Bungsu sadar, lalu menyayangi ibunya untuk selama- lamanya.

Pesan Moral: Kita seharusnya menghormati dan menyayangi ibu kita apapun kondisinya.
6. Si Pahit Lidah

Di Kerajaan Sumidang hidup seorang pangeran bernama Serunting. Serunting memiliki seorang istri dan adik ipar bernama Aria Tebing. Serunting dan Aria Tebing memiliki ladang yang dipisahkan oleh pepohonan. Di bawah pepohonan itu tumbuh cendawan. Cendawan yang menghadap ke ladang milik Aria Tebing tumbuh menjadi logam emas, sedangkan yang menghadap ke ladang milik Serunting tumbuh menjadi tanaman hama.

Serunting menjadi iri. Ia pun mengajak Aria Tembing berduel. Tentu saja Aria Tebing menolak. Serunting adalah kakak iparnya yang sakti. Tetapi, Aria Tembing ingin berjaga- jaga. Ia bertanya kepada kakaknya, “Apa kelemahan Serunting?”

“Ia bisa dikalahkan dengan ilalang yang bergetar,” jawab kakaknya. Akhirnya Serunting kalah berduel. Merasa dikhianati, ia bertapa di Gunung Siguntang.

Dua tahun berlalu. Serunting memiliki kesakitan. Setiap perkataannya akan menjadi kenyataan dan kutukan. Suatu hari, ia berniat pulang ke kampung halamannya. Dalam perjalanan, ia mencoba kesaktiannya. “Jadilah batu!” ucapnya sambil menunjuk sebuah pohon. Pohon itu pun seketika menjadi batu.

Nama Serunting semakin dikenal. Ia pun menjadi sombong. Orang- orang menjulukinya si Pahit Lidah. Saat tiba di Bukit Serut yang gundul, Serunting menyadari kesalahannya. Ia mengubah bukit itu menjadi hutan kayu. Masyarakat berterima kasih kepadanya. Hutan kayu itu bisa mencukupi kebutuhan hidup masyarakat sekitar.

Saat tiba di Desa Karang Agung, Serunting mendatangi suami istri tua. “Kami sangat ingin mempunyai anak,” ucap keduanya. Serunting pun mengabulkan keinginan mereka.

Sehelai rambut si nenek dijadikannya seorang bayi. Serunting bahagia bisa membantu orang lain. Di sisa perjalanannya, ia belajar untuk menolong orang yang kesulitan. Kata- kata kutukan dari mulutnya berubah menjadi perkataan yang baik.

Pesan Moral: Sudah seharusnya ilmu menjadikan kita lebih bijak. Ilmu yang kita miliki harus digunakan untuk membantu sesama.
7. Ting, Gegenting

Seorang anak yatim tinggal bersama ibunya di tepi hutan. Suatu hari, sang anak kelaparan dan berkata kepada ibunya, “Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan mau makan.”

Ibunya menjawab, “Tunggulah sebentar, Nak. Ibu mau menebas ladang dulu.”

Selesai ibunya menebas ladang, si anak bangun dari tidurnya dan merengek kembali. Sekali lagi ibunya menjawab, “Tunggulah, Nak. Ibu mau membakar ladang dulu.”

Karena lemah, sang anak tidur lagi. Setelah ibunya membakar ranting-ranting dan daun-daun di ladang, si anak pun terjaga karena lapar. Ibunya menjawab, “Tunggulah, Nak. Ibu mau menanam padi dulu.”

Si anak pun tertidur lagi. Setelah ibunya menanam padi, ia terbangun meminta makan. Lagi-lagi ibunya menjawab, “Tunggu, Nak. Ibu masih mau menyiangi padi dulu.”

Mendengar itu, si anak tertidur kembali. Tidak lama kemudian ia terbangun dan menangis. “Ting, gegenting, perutku sudah genting, kelaparan, mau makan!”

“Tunggu sebentar, Nak. Padi kita baru berbuah,” jawab ibunya.

Si anak pun tertidur kembali. Ia terbangun dan meminta makan. Si ibu menjawab, “Tunggu, Nak. Padi kita baru menguning ujungnya.”

Si anak pun tertidur kembali. Setelah tidur cukup lama, ia terbangun lagi dan merengek. “Tunggu, Nak. Padi kita sudah masak, Ibu mau memotong padi dulu.”

Mendengar janji itu, si anak segera tertidur. Tiba-tiba ia bangun kembali dan menangis. “Tunggu, Nak. Ibu masih mau merontokkan padi dari tangkainya,” kata ibunya.

Si anak pun tertidur kembali. Lewat beberapa waktu ia pun bangun. Ibunya menjawab, “Tunggu sebentar, Nak. Ibu mau menampi gabah dulu.”

Si anak tidur dengan hati gelisah. Ia pun menangis lagi. Tetapi, ibunya menjawab, “Tunggu, Nak. Ibu mau menjemur gabah dulu.”

Si anak pun tidur lagi, lalu bangun dan menangis. “Tunggulah, Nak, Ibu mau menumbuk gabah dulu,” jawab ibunya.

Selesai menumbuk gabah, terdengar lagi suara anaknya merintih sedih. Si ibu menjawab, “Tunggu, Nak. Ibu mau menampi beras dulu.”

Setelah ibunya mencuci beras, anaknya sudah terjaga sambil menangis. “Sabar, Nak. Ibu masih mau menanak nasi dulu,” jawab ibunya.

Si anak yang sudah lemas badannya segera tertidur. Tak lama ia bangun lagi dan terus menangis. Kali ini napasnya terengah-engah. “Ting, ge…genting… pe…rutku… suuu…dah genting, ke…laparan, mau ma…kaaan.”

Ibunya menjawab, “Sebentar lagi, Nak. Ibu mau menempatkan nasi di piring dulu.”

Ketika si anak bangun mau makan, tiba-tiba ting…. Putuslah perutnya yang sudah genting karena sudah terlalu lapar. Si ibu dengan hati sedih mendekati anaknya. Ia menyesal telah mengabaikan keinginan anaknya.

Pesan Moral: Sesibuk apa pun pekerjaan, sebaiknya perhatikan juga keluarga.
8. Hikayat Si Lancang

Si Lancang adalah nama seorang anak laki-laki yang tinggal di Kampar. Ia tinggal bersama ibunya. Hidup mereka sangat miskin. Si Emak bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya. Suatu ketika, si Lancang memutuskan untuk merantau. Dengan berat hati, si Emak mengizinkan.

Selama bertahun-tahun si Lancang merantau. Ia menjadi seorang pedagang yang kaya raya. Berpuluh- puluh kapal dan ribuan anak buah telah ia miliki juga istri-istri yang cantik. Si Lancang lupa bahwa si Emak di kampung halamannya selalu menunggunya.

Suatu hari, si Lancang mengajak istri-istrinya berlayar. Setelah beberapa hari berlayar, kapal mereka merapat di Sungai Kampar. Penduduk masih mengenali wajah si Lancang. Berita kedatangannya sampai pula pada Emak. Kala itu, ia tengah terbaring sakit. Dengan tertatih-tatih, ia menuju pelabuhan dan menaiki kapal mewah itu. Tetapi, para pengawal mengusirnya. Terjadilah kegaduhan. Si Lancang menghampirinya. Si Emak ingin memeluk anaknya.

Bukannya memeluk emaknya, si Lancang malah mengusirnya. “Pergi dari sini! Kau bukan ibuku!” teriak si Lancang.

Hati si Emak sangat hancur. Ia tidak menyangka akan dihina oleh anaknya. Dengan perasaan terluka, ia pulang ke gubuknya. “Ya Tuhan, berilah pelajaran kepada anakku,” ucap Emak. Tiba-tiba datang angin topan. Petir menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar naik dan menghantam kapal hingga hancur.

Si Lancang dan seluruh penumpang kapal tenggelam. Barang- barang berhamburan. Kain sutra milik istri si Lancang melayang-layang, lalu jatuh dan berlipat menjadi Negeri Lipat Kain di Kampar Kiri. Sebuah gong jatuh di dekat gubuk si Emak. Gong itu berubah menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Satu tembikar pecah menjadi Pasubilah di dekat Danau Si Lancang.

Di Danau itulah tiang bendera kapal si Lancang berdiri tegak. Bila tiang kapal muncul ke permukaan danau, pertanda akan terjadi banjir. Konon, banjir itulah air mata si Lancang. Ia menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.

Pesan Moral: Anak yang durhaka kepada orang tua akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
9. Kisah Si Raja Tidur

Raja dan Permaisuri di Tanah Renjang mempunyai seorang putri yang bernama Putri Serindu. Raja dan Permaisuri menginginkan putrinya segera menikah. Namun, sang Putri hanya ingin menikah dengan si Raja Tidur.

Akhirnya, sang Raja mengadakan sayembara untuk mencari si Raja Tidur. Banyak orang yang mengikuti sayembara itu, termasuk seorang pemuda desa bernama Lumang. Ia pemuda yatim piatu. Pekerjaannya membuat bubu (alat penangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu) dan dijual ke pasar.

Lumang membuat bubu sambil mengikuti sayembara. Ia telah menyiapkan semua perlengkapan. Ketika lomba dimulai, semua peserta mulai memejamkan matanya. Namun, Lumang justru membuat bubu. Ketika semua peserta sudah tidur pulas, bubunya belum selesai juga. Ia baru bisa menyelesaikannya saat subuh. Setelah itu, Lumang tak langsung tidur. Ia membereskan sisa-sisa pekerjaannya. Saat pekerjaannya selesai, kantuknya tak tertahankan lagi.

Putri Serindu berkeliling untuk menilai semua peserta. Ia melihat bubu yang indah. Putri Serindu pun terpesona. Ia juga sempat melihat perlengkapan membuat bubu milik Lumang. Putri Serindu yakin pemuda ini membuat bubu sebelum tidur. Tentu, pemuda itu kelelahan dan bisa tidur nyenyak. Ia pemuda yang rajin, pikir Putri Serindu. Ia pun bahagia menemukan tambatan hatinya. Sang Raja menikahkan Putri Serindu dan Lumang. Mereka pun hidup bahagia.

Pesan Moral: Untuk menjadi orang sukses, kita harus rajin dan tekun.
10. Si Lingga dan Si Purba

Lingga dan Purba adalah dua bersaudara yang sangat miskin. Mereka bekerja sebagai pencari kayu bakar dan rotan di dalam hutan. Suatu hari, saat beristirahat di bawah pohon, Lingga teringat pesan orang tuanya. Jika berdoa dengan ikhlas, keinginan kita akan dikabulkan.

Lingga mengajak Purba berdoa. Selesai berdoa dengan khusyuk, tiba- tiba seekor burung terbang mendekat. “Hai, anak muda, kekayaan apakah yang kalian kehendaki?”

Lingga dan Purba menjawab ragu, “Berikan kami emas sebesar kepala kuda.”

Ketika hendak pulang, mereka menemukan bongkahan emas sebesar kepala kuda. Kedua pemuda itu sangat gembira. Mereka pun mulai mengkhayal apa saja yang akan mereka beli dari hasil menjual emas itu. Lingga ingin memiliki emas itu sendiri. Purba pun berpikir demikian.

Karena sedang lapar, mereka tidak bisa mengangkut emas itu. Lingga meminta Purba untuk mengambil makanan di rumah. Purba setuju. Sepeninggal Purba, ternyata Lingga

membuat lubang perangkap di dekat bongkahan emas. Ia menancapkan bambu-bambu runcing di dalamnya, lalu menutupinya dengan daun-daun kering.

Setelah kenyang, Purba kembali ke hutan. Ia melihat Lingga masih menunggu. Purba mendekati saudaranya dengan gembira. Ketika hampir sampai, Purba terjatuh ke dalam lubang. Makanan yang ia bawa terlempar ke luar.

Lingga senang karena jebakannya berhasil. Ia segera makan dengan lahap. Tak lama, Lingga muntah darah. Ternyata Purba telah meracuninya. Keduanya meninggal dunia. Tak seorang pun bisa memiliki bongkahan emas itu.

Pesan Moral: Sifat serakah akan selalu membawa celaka.
11. Si Kepar

Di Kabupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama anak lelakinya. Anak itu bernama si Kepar. Ayah dan ibunya bercerai sejak ia kecil. Si Kepar sering diejek sebagai anak jadah, artinya anak tak berayah. Itu sebabnya si Kepar ingin mengetahui siapa ayahnya.

Suatu hari, si Kepar bertanya, “Ibu, Ayah ada di mana?”

“Ayahmu ada di gunung,” jawab ibunya. Si Kepar bertekad menemui ayahnya. Setelah beberapa hari perjalanan, sampailah ia di tempat yang dimaksud. Ditemuinya seorang laki-laki setengah baya.

Si Kepar menceritakan maksud kedatangannya. Namun, ia tidak bercerita tentang ibunya. Akhirnya, ayahnya paham bahwa Si Kepar adalah anaknya. Si Kepar mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal. Sejak itu, Si Kepar tinggal bersama ayah atau ibunya. Dalam seminggu, ia tidur tiga malam di tempat ayahnya. Lalu, selebihnya di tempat ibunya. Si Kepar mengatakan kepada ibunya bahwa ayahnya telah meninggal. Diam-diam, ia mempunyai rencana besar.

Si Kepar menginginkan kedua orang tuanya kembali bersatu. Suatu hari, datanglah petunjuk dari Tuhan. Ia harus menyampaikan keinginan kepada ibunya untuk memiliki ayah tiri. Harapan ini juga harus disampaikan kepada ayahnya untuk memiliki ibu tiri.

Si Kepar telah menyampaikan keinginan kepada ibunya. Esoknya ia menemui sang ayah. Ia menyampaikan hal serupa. Ayahnya bersedia menikah lagi. Kedua orang tuanya menyetujui harapan si Kepar. Namun, mereka tidak mengetahui siapa jodohnya. Si Kepar mempertemukan mereka di sebuah dusun. Tempat itu jauh dari kampung ibunya. Sengaja si Kepar memilih tempat itu agar ayahnya tidak terkenang akan masa lalu.

Berkat usaha si Kepar yang gigih, kedua orang tuanya bersatu kembali. Mereka hidup rukun seperti sedia kala. Melihat keadaan itu, si Kepar mengakui perbuatannya. Ayah dan ibunya tidak marah meskipun telah dibohongi. Mereka saling memaafkan. Dulu mereka harus bercerai karena berbuat kesalahan. Kini keduanya berterima kasih kepada anaknya yang cerdik. Si Kepar pun sangat senang menyambut kehadiran ayahnya di rumah. Akhirnya, mereka hidup dalam sebuah keluarga yang rukun dan damai.

Pesan Moral: Saling memaafkan akan menimbulkan rasa damai.
12. Anak Kerang

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu.”

Si ibu terdiam, sejenak, “‘Sakit sekali’. Aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat,” kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat ibundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar.

Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar. Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara utuh mengkilap dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini menjadi lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang hanya disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Pesan Moral: “Saat menghadapi cobaan, kita sesekali boleh mengeluh bahkan menangis, namun jangan sampai berlarut-larut. Di sisi lain, bertahanlah dan tetap bersemangat menjalani hidup. Dengan begitu, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik nantinya.”

(Dikutip dari buku Super Complete Kelas 4,5,6 SD/MI susunan Tim Guru Inspiratif. )

Nah, itu dia sederet dongeng pendek untuk ANAK SD beserta pesan moralnya yang dapat dipelajari.

Editor: PARNA
Sumbera; detik.com