PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo (Jokowi)akan berakhir pada 20 Oktober 2024. Rezim yang dipimpin mantan politisi PDI Perjuangan ini mampu bertahan selama 10 tahun dengan tingkat keputusan publik sebesar 75,6 persen (menurut hasil survei Litbang Kompas, Juni 2024).
Hal ini mencerminkan dukungan publik yang luar biasa terhadap kinerja Presiden Joko Widodo.
Sampai akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi terbaru soal Pilkada memicu kisruh karena Jokowi dan KIM Plus dinilai cawe-cawe untuk mengubah aturan agar anak bungsunya, Kaesang Pangarep dapat maju di kontestasi Pilkada sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur.
Fenomena ini direspons negatif oleh publik melalui aksi massa besar-besaran di sejumlah daerah.
Tak hanya mahasiswa, influencer sampai komika turut ambil bagian dalam gerakan mengawal putusan MK.
Di media sosial, laporan dari Drone Emprit mengatakan bahwa sentimen positif terhadap gerakan mengawal putusan MK sangat dominan di angka 86 persen – 99 persen. Sementara sentimen negatif yang muncul hanya satu persen.
Hal ini menandakan bahwa mayoritas netizen Indonesia sangat mendukung putusan MK untuk ditegakan. Sebaliknya, satu persen sentimen negatif menandakan amarah kolektif netizen Indonesia akibat dugaan cawe-cawe Jokowi dan KIM Plus untuk urusan Pilkada.
Laporan media sosial lainnya datang dari Monash University Indonesia. Ditemukan 28.000 cuitan dari 13.000 akun pada gerakan tersebut.
Selain itu, laporan ini juga menambahkan tidak terdeteksi buzzer dalam konten yang paling banyak disebarkan di media sosial.
Dapat ditafsirkan amarah publik yang tertangkap dalam media sosial bersifat organik atau tanpa rekayasa.
Data data ini menunjukan bahwa di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi mendapatkan pukulan telak yang bukan berasal dari lawan politiknya, melainkan dari amarah publik.
Lantas, mengapa publik semarah ini? Jika alasannya karena karena politik dinasti, patut diingat bahwa dugaan cawe-cawe juga dialamatkan pada saat Gibran Rakabuming Raka menjadi calon Wakil Presiden setelah MK mengubah aturan soal batasan usia capres-cawapres.
Namun, amarah publik saat itu tidak memuncak sebesar sekarang. Aksi massa tetap terjadi, tetapi tidak sebesar yang terjadi pada putusan MK soal Pilkada.
Kepuasan publik yang besar pada pemerintahan Jokowi (survei Juni), seolah luntur hanya dalam waktu tiga bulan.
Lihat Foto
Terdapat satu teori dalam Psikologi Politik yang dapat menjawab alasan memuncaknya kemarahan publik terhadap rezim Jokowi, yaitu Social Identity Theory.
Editor: PARNA
Sumber: kompascom