Ilmuwan mengungkap Februari 2024 menjadi bulan Februari terpanas sepanjang sejarah. Simak penyebabnya.
Copernicus Climate Change Service (C3S) menjelaskan rekor suhu terpanas Bumi kembali tercatat pada Februari lalu. Hal ini menjadikan rekor suhu bulanan kesembilan berturut-turut yang dipecahkan.
C3S juga mengatakan periode Februari 2023 hingga Januari 2024 menandai pertama kalinya Bumi mengalami suhu 1,5 derajat Celsius lebih panas selama 12 bulan berturut-turut dibandingkan dengan era pra-industri.
Para ilmuwan mencatat suhu Februari 2024 mencapai 1,77 derajat Celsius lebih hangat daripada suhu pada era pra-industri sekitar tahun 1850-1900.
Suhu meningkat di berbagai belahan bumi pada Februari kemarin, mulai dari Siberia hingga Amerika Selatan. Eropa juga mengalami musim dingin terpanas kedua yang pernah tercatat.
Copernicus mengatakan pada paruh pertama Februari, suhu global harian “sangat tinggi”, dengan empat hari berturut-turut mencatat rata-rata 2 derajat Celsius lebih tinggi dari masa pra-industri.
Carlo Buontempo, Direktur C3S, mengatakan ini merupakan rekor terpanjang di atas 2 derajat Celsius. Menurutnya suhu panas tersebut “luar biasa”.
Namun, hal ini tidak menandai pelanggaran batas kesepakatan iklim Paris 2015, yaitu “jauh di bawah” 2 derajat Celsius dan sebaiknya 1,5 derajat Celsius, yang diukur dalam beberapa dekade.
Data Copernicus dari seluruh planet ini sudah ada sejak tahun 1940-an, namun Buontempo mengatakandengan mempertimbangkan apa yang para ilmuwan ketahui tentang suhu historis, “peradaban kita tidak pernah menghadapi iklim seperti ini”.
“Dalam hal ini, saya rasa definisi wilayah yang belum dipetakan adalah tepat,” kata Buontempo, mengutip AFP, Kamis (7/3).
Ia menambahkan pemanasan global merupakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi kota-kota dunia, budaya, sistem transportasi, hingga sistem energi umat manusia.
Selain itu, Copernicus mencatat suhu permukaan laut mencapai rekor tertinggi pada Februari lalu. Ini memecahkan rekor panas ekstrem sebelumnya pada 2023, dengan suhu kali ini mencapai lebih dari 21 derajat Celsius.
Sekitar 70 persen Bumi merupakan lautan, dan ini membuat planet ini tetap layak huni dengan menyerap 90 persen panas berlebih hasil polusi karbon sejak awal era industri. Namun, lautan yang menghangat ini berarti lebih banyak uap air di atmosfer yang menyebabkan cuaca semakin tidak menentu, seperti angin kencang dan hujan deras.
Kendati demikian, Buontempo memprediksi fenomena El Nino yang menghangatkan permukaan laut di Pasifik selatan dan menyebabkan cuaca lebih lebih panas secara global akan mereda pada awal musim panas.
Emisi gas rumah kaca
Meski El Nino dan efek lainnya berperan membuat Bumi semakin panas, para ilmuwan menekankan bahwa emisi gas rumah kaca adalah penyebab utamanya.
Panel iklim IPCC PBB telah memperingatkan bahwa dunia akan mengalami kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius pada awal tahun 2030-an.
Emisi yang memanaskan planet, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil, terus meningkat ketika para ilmuwan mengatakan emisi tersebut harus turun hampir setengahnya dalam dekade ini.
Negara-negara yang hadir dalam negosiasi iklim PBB di Dubai tahun lalu sepakat untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global pada dekade ini dan “beralih” dari bahan bakar fosil.
Namun, kesepakatan tersebut tidak memiliki rincian yang penting, dan pemerintah sekarang berada di bawah tekanan untuk memperkuat komitmen iklim mereka dalam jangka pendek dan setelah tahun 2030.
“Kita tahu apa yang harus dilakukan, berhenti membakar bahan bakar fosil dan menggantinya dengan sumber energi terbarukan yang lebih berkelanjutan,” ujar Friederike Otto, dari Grantham Institute for Climate Change and the Environment, Imperial College London.
“Sampai kita melakukan hal itu, peristiwa cuaca ekstrem yang diintensifkan oleh perubahan iklim akan terus menghancurkan kehidupan dan mata pencaharian,” pungkasnya.
Editor: PARNA
Sumber: cnnindonesia