Sebuah penelitian di Jepang mengungkap alasan banyak pasangan yang telah menikah di negara itu amat jarang bahkan ‘menolak’ untuk berhubungan seksual. Menurut temuan studi tersebut, sebanyak 68 persen pasangan yang sudah menikah tidak lagi melibatkan sentuhan fisik dan seks dalam pernikahan mereka.
Hal ini juga menjawab alasan Jepang harus menghadapi masalah penurunan angka kelahiran yang setiap tahun justru semakin meningkat. Dikutip dari South China Morning Post, studi ini dilakukan oleh biro desain web dan periklanan internet yang berbasis di Tokyo, Raison d’être, melibatkan 4.000 orang menikah berusia antara 20 dan 59 tahun yang menjawab pertanyaan tentang kehidupan seks mereka.
Di semua kelompok umur, 43,9 persen melakukan pernikahan tanpa seks, sementara 24,3 persen mengatakan pernikahan mereka ‘hampir tanpa seks’.
Sekitar setengah dari perempuan menikah berusia 20-an tahun melakukan hubungan tanpa ‘seks’ atau hampir tanpa ‘seks’, dan meningkat menjadi 67,8 persen di antara perempuan berusia 30-an tahun.
Sekitar 53,4 persen pria berusia 20-an mengatakan bahwa mereka tidak melakukan atau sangat sedikit melakukan hubungan seks dalam pernikahan mereka, dan angka ini meningkat menjadi 71,4 persen untuk pria berusia 30-an.
Di antara demografi tertua, sekitar 78 persen perempuan berusia 50-an mengatakan bahwa mereka melakukan pernikahan tanpa seks atau hampir tanpa seks, dan 81 persen laki-laki berada dalam kelompok usia yang sama.
Namun 57 persen responden yang mengatakan bahwa mereka menjalani pernikahan tanpa jenis kelamin atau hampir tanpa jenis kelamin juga menyebut hubungan mereka dengan pasangan baik atau sangat baik.
Meski begitu, hasil penelitian Raison d’être ini tak menemukan alasan pasangan di Jepang tidak melakukan hubungan seks. Sementara penelitian berulang yang dilakukan Asosiasi Keluarga Berencana Jepang (JFPA), justru menemukan alasan-alasan mengapa pasangan di Jepang enggan berhubungan seks meski sudah menikah.
Direktur Asosiasi JFPA, Kunio Kitamura mengatakan dalam studi pertamanya yang dilakukan pada 2004 lalu menemukan bahwa 22,3 persen wanita di seluruh Jepang tidak melakukan hubungan seks dengan alasan hal tersebut “mengganggu”, sementara lebih dari 20 persen wanita tidak ingin melakukan kontak fisik dengan suami setelah melahirkan.
Sebanyak 17,4 persen lainnya mengatakan mereka terlalu lelah bekerja, sementara 8,2 persen tidak lagi menganggap suami mereka sebagai pasangan seksual, melainkan sebagai ‘keluarga’. Alasan lain yang diberikan perempuan adalah hamil atau tidak tertarik.
Di antara laki-laki, alasan yang paling umum, yaitu sebesar 35,2 persen, adalah karena mereka terlalu lelah setelah bekerja. Sebanyak 12,8 persen lainnya mengatakan mereka menganggap istri sebagai “keluarga”, bukan sebagai pasangan seksual, dan 12 persen telah kehilangan minat berhubungan seks setelah anak lahir. Hanya 7,2 persen yang tidak melakukan hubungan seks karena dianggap “mengganggu”.
Amie, bukan nama sebenarnya, yang tinggal di Tokyo, seorang wanita berusia akhir 30 an mengatakan ada beberapa alasan mengapa pernikahannya kurang memiliki cinta fisik, namun sebagian besar alasannya adalah sekadar lelah.
“Suami saya memiliki pekerjaan yang sangat menuntut fisik, dan dia bekerja pada waktu yang berbeda-beda, siang dan malam, sehingga sulit untuk memiliki rutinitas yang teratur,” jelasnya.
“Ini berbeda ketika kami masih muda dan ketika kami mencoba untuk memiliki bayi, tapi hal itu tidak terjadi, jadi kami berhenti,” katanya.
“Saya juga bekerja paruh waktu, dan sepertinya tidak pernah ada ‘waktu yang tepat’ bagi kami,’ lanjutnya,
Kitamura mengatakan penelitiannya mendukung teori bahwa banyak orang yang menghabiskan terlalu banyak waktu di perusahaan dan tidak punya energi untuk hal lain ketika mereka tiba di rumah. Selain itu, terdapat tekanan finansial yang semakin buruk pada sebagian besar pasangan.
“Ada banyak tekanan terhadap masyarakat Jepang saat ini, yang paling mendasar adalah kurangnya uang untuk pergi minum atau ke restoran bersama pasangan. Di Jepang, sulit jatuh cinta jika Anda miskin,” ucapnya.
“Di kalangan anak muda, kami juga melihat banyak yang memiliki kemampuan komunikasi yang buruk,” ujarnya.
“Jika masyarakat enggan berkomunikasi dengan lawan jenis, atau tidak bisa menjaga sikap positif terhadap seks, maka tren sexless akan semakin meningkat. Sulit untuk keluar dari siklus ini,” sambungnya.
Dan hal ini, ia memperingatkan, menjadi pertanda buruk bagi populasi penduduk yang sudah jelas mengalami penurunan, yaitu 123,29 juta penduduk Jepang pada tahun lalu, turun dari puncaknya sebesar 128,1 juta pada tahun 2010 dan diperkirakan akan menyusut menjadi 104,69 juta pada tahun 2050.
“Penurunan angka kelahiran di Jepang bahkan lebih serius dibandingkan populasi sexless,” kata Kitamura.
Editor: PARNA
Sumber: detik.com