Gelombang panas di beberapa negara Asia Tenggara dinilai mematikan karena udaranya lembap yang berdampak pada dehidrasi parah dan penyakit mematikan lainnya.

April dan Mei biasanya merupakan bulan-bulan terpanas di Asia Tenggara, karena suhu naik sebelum musim hujan tiba. Namun, tahun ini beda.

Suhu di Thailand dan Vietnam, misalnya, mencapai level yang belum pernah dialami sebelumnya di kawasan ini.

Thailand memecahkan rekor hari terpanas dalam sejarah dengan angka 45,4 derajat Celcius pada 15 April. Negara tetangganya, Laos, mencapai rekor 43,5 derajat Celcius selama dua hari berturut-turut pada Mei.

Rekor sepanjang masa Vietnam pecah pada awal Mei dengan 44,2 derajat Celcius. Pada 1 Juni, Vietnam memecahkan rekor untuk hari terpanas bulan Juni dalam sejarah dengan 43,8 derajat Celsius.

Analisis data stasiun cuaca oleh ahli iklim dan sejarawan cuaca Maximiliano Herrera, dikutip dari CNN, menggambarkan situasi ini sebagai “gelombang panas paling brutal yang tidak pernah berakhir” yang berlanjut hingga Juni.

Laporan terbaru World Weather Attribution (WWA) mengungkap gelombang panas di Asia Tenggara pada April adalah peristiwa sekali dalam 200 tahun yang “hampir mustahil” terjadi tanpa perubahan iklim yang dipicu oleh ulah manusia.

Tambahan masalahnya adalah gelombang panas ini disertai dengan kelembapan di atas suhu ekstrem. Hal tersebut membuat tubuh kita semakin sulit untuk mencoba mendinginkan diri.

Para ahli menyebut kondisi ini memicu rawan heat stroke dan heat exhaustion dengan gejala yang parah dan dapat mengancam nyawa, terutama bagi penderita penyakit jantung dan masalah ginjal, diabetes, dan orang hamil.

“Ketika kelembapan di sekitar sangat tinggi, tubuh akan terus mengeluarkan keringat berusaha melepaskan kelembapan untuk mendinginkan diri,” kata Mariam Zachariah, peneliti cuaca di Imperial College London.

“Namun karena keringat tidak menguap akhirnya akan menyebabkan dehidrasi parah, dan pada kasus akut dapat menyebabkan serangan panas dan kematian,” jelas dia.

“Itulah sebabnya gelombang panas lembap lebih berbahaya daripada gelombang panas kering.”

Suhu yang terasa
Untuk memahami risiko kesehatan dari panas lembap, para ilmuwan sering menghitung suhu “terasa-seperti” (feels-like).

Itu merupakan satu ukuran seberapa panas rasanya bagi tubuh manusia ketika suhu udara dan kelembapan sama-sama diperhitungkan, terkadang bersamaan dengan faktor lain seperti angin.

Panas yang dirasakan biasanya beberapa derajat lebih tinggi dari suhu yang diamati dan memberikan pembacaan yang lebih akurat tentang bagaimana panas memengaruhi orang.

Analisis CNN terhadap data Layanan Perubahan Iklim Copernicus menemukan bahwa antara awal April dan akhir Mei, keenam negara di bagian benua Asia Tenggara mencapai suhu yang dirasakan mendekati 40 derajat Celcius atau lebih setiap hari.

Ini di atas ambang batas yang dianggap berbahaya, terutama bagi orang yang memiliki gangguan kesehatan atau yang tidak terbiasa dengan panas ekstrem.

Di Thailand, 20 hari di bulan April dan setidaknya 10 hari di bulan Mei mencapai suhu yang terasa seperti di atas 46 derajat Celcius.

Pada tingkat ini, tekanan panas termal menjadi “ekstrem” dan dianggap mengancam nyawa siapa saja termasuk orang sehat yang terbiasa dengan panas lembab ekstrem.

Pemanasan global
Studi World Weather Attribution juga menemukan bahwa suhu saat gelombang panas dirasakan lebih tinggi 2º ketimbang jika tidak ada pemanasan global yang dipicu oleh polusi.

“Ketika atmosfer menjadi lebih hangat, kemampuannya menahan kelembapan menjadi lebih tinggi dan oleh karena itu kemungkinan gelombang panas yang lembab juga meningkat,” kata Zachariah.

Jika pemanasan global terus meningkat hingga 2 derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit), gelombang panas lembab seperti itu dapat terjadi sepuluh kali lebih sering, menurut penelitian tersebut.

Editor: PARNA

Sumber; cnnindonesia.com