Smartphone atau ponsel pintar menjadi alat yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama bagi kalangan Gen Z. Sejak kecil, generasi yang lahir pada tahun 1997 sampai 2012 ini telah tumbuh bersama kecanggihan smartphone.

Gen Z menggantungkan banyak hal di smartphone mulai dari urusan hiburan, aktualisasi diri lewat video atau foto, mencari informasi, hingga soal pekerjaan dan percintaan.

Namun, belum lama ini terdapat tren unik yang dilakukan Gen Z di Amerika di mana mereka meninggalkan smartphone dan beralih ke handphone jadul. Apa alasannya?

Alasan Gen Z di Amerika Meninggalkan Smartphone

Generasi Z di Amerika meninggalkan smartphone dan beralih ke handphone ‘jadul’ dengan fitur yang hanya bisa untuk menelpon dan kirim pesan.

Tren ini mulai dilakukan untuk meminimalisir kecanduan dan memaksimalkan interaksi sosial secara langsung di lingkup pertemanan.

Tren ini juga dilatarbelakangi oleh data bahwa smartphone dan media sosial turut bersanding dengan tingkat depresi di kalangan remaja, kata para psikolog.

Menurut Administrasi Layanan Penyalahgunaan Zat dan Kesehatan Mental, yang merupakan bagian dari Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, mulai 2004 hingga tahun 2019 tingkat depresi remaja meningkat hampir dua kali lipat.

Oleh karena itu, tren beralih ke HP ‘jadul’ mulai menjalar di kalangan Gen Z Amerika Serikat.

Dikutip dari CNN, salah satu pengikut tren ini, Sammy Palazzolo, (18 tahun), mahasiswi baru di University of Illinois Urbana-Champaign mengatakan kini ia memiliki rutinitas baru dengan ponselnya saat dia keluar malam bersama teman-temannya.

Ia dan teman-teman saling menghubungi satu sama lain hanya melalui ponsel flip ‘jadul’ dan memotret meski dengan kamera yang kualitasnya tak secanggih kamera kebanyakan.

Tren meninggalkan smartphone ini kemudian mulai dikenalkan ke sesama mahasiswa dan mengajak generasi mereka untuk beralih ke HP jadul.

Tanggapan Psikolog Unair

Mengenai fenomena Gen Z di AS ini, dosen Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Prof Dr Nurul Hartini SPsi M Kes memberikan tanggapannya.

Prof Nurul pun setuju bila fenomena ini dilakukan agar terhindar dari gangguan yang timbul akibat smartphone. Memang, penggunaan smartphone bisa memberikan dampak positif dan negatif.

Dampak positif berupa kemudahan komunikasi dan mengakses informasi yang tidak terbatas. Namun, di balik itu ada dampak negatif yang membuat seseorang kecanduan yang berakibat buruk pada fisik atau mental.

Akibat Kecanduan Smartphone

Seperti yang diungkapkan para Gen Z ketika berhenti menggunakan smartphone adalah untuk menjaga kesehatan mental mereka. Selain itu, Prof Nurul mengatakan smartphone dapat berdampak buruk pada fisik, gangguan penglihatan hingga gangguan motorik.

Dari sisi mental, dampak dari kecanduan smartphone dapat menimbulkan gangguan kognitif dan merusak kestabilan emosi khususnya pada anak-anak dan remaja.

Hal ini menyebabkan seseorang mudah marah, padahal sumber yang menyebabkan kemarahan itu berasal dari smartphone.

“Sumber-sumber marah dan sumber-sumber agresi dapat berasal dari sarana prasarana yang seharusnya bisa membantu menjadi lebih cerdas,” ungkap Prof Nurul dalam situs Unair.

Selain itu, smartphone juga dapat mengganggu aktivitas sosial seseorang. Contohnya, seseorang bisa menjadi pribadi yang tertutup dan kurang melakukan interaksi sosial sehingga kesulitan ketika harus bergaul dengan teman sebayanya.

Saran Psikolog Unair

Untuk menghindari fenomena kecanduan smartphone pada anak, perlu dilakukannya evaluasi secara kualitas dan kuantitas tentang smartphone. Contohnya, orang tua bisa menjalankan aplikasi apa yang bisa diakses pada smartphone yang bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri.

Namun, bila pada akhirnya hasil evaluasi tersebut menjelaskan penggunaan smartphone berdampak buruk. Contohnya ternyata menyebabkan penurunan motivasi dalam belajar, penggunaannya harus dikurangi.

Prof Nurul menyampaikan bahwa jika penggunaan smartphone sesuai dengan porsi dan kebutuhan akan memiliki banyak manfaat. sebaliknya, smartphone bisa membantu meningkatkan kemampuan kognitif pada anak-anak.

“Kalau kita bisa membatasi kedalaman kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan, pastinya tidak akan menimbulkan kerugian atau gangguan,” ungkapnya.

Editor: PARNA

Sumber: detik.com