PBNU dan Muhammadiyah bahas Pemilu 2024. (CNN Indonesia/Panji Septo Raharjo)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan semua pihak harus berkomitmen mengedepankan moral pada Pemilu 2024.
Hal itu dia ucapkan menyoroti soal moral kepemimpinan di tahun politik yang hanya mengedepankan suara elektoral saja dari pada adu gagasan.

“Kita memang butuh mendengar lebih banyak tentang gagasan, visi untuk bangsa. Kemudian komitmen untuk melakukan menjalankan kompetisi secara lebih bermoral,” ujar Gus Yahya usai menerima pimpinan Muhammadiyah di Gedung PBNU, Kamis (25/5).

Ia juga berharap Pemilu 2024 lebih bersih dan tidak picu polarisasi atau menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat. Menurutnya, sampai saat ini tidak banyak yang menyuarakan soal moral kebangsaan dalam Pemilu 2024. Ia mengaku ingin melihat hal tersebut dalam waktu dekat.

Gus Yahya menegaskan NU dan Muhammadiyah akan berusaha untuk melaksanakan tanggung jawab dengan memberikan keteladanan sikap agar Pemilu 2024 berjalan baik.

Di tempat yang sama Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir juga memberikan pendapatnya soal moral dalam tahun politik yang mengedepankan suara elektoral. Menurutnya, ide atau gagasan yang kompetitif sangat baik untuk dilakukan. Namun, tak menutup kemungkinan gagasan itu mengarah kepada polarisasi.

Oleh sebab itu, dia meminta semua pimpinan parpol untuk menyajikan gagasan yang konstruktif dan mendorong semua pihak agar membawa visi kebangsaan bersama-sama.

“Ada tanggung jawab moral setiap elite untuk membuat pernyataan langkah-langkah yang tidak mengarah pada polarisasi. Karena harganya terlalu mahal,” kata dia.

Ia mengaku tak ingin menghakimi para elite politik. Namun, dia meminta semua pihak berkomitmen menjaga dan menghadirkan kepemimpinan moral pada Pilpres 2024.

“Saya tidak men-judge para elite, kekuatan, serta proses kontestasi ini ya, tetapi kami ingin bersama menghadirkan kepemimpinan moral dan visioner. Itu saja yang menjadi komitmen kami,” ujarnya.

Singgung politik identitas
Dalam kesempatan tersebut Gus Yahya juga mengajak semua pihak untuk menepis segala politik identitas di Pemilu 2024. Menurut Gus Yahya, politik identitas hanya menyandarkan penggalangan dukungan berdasarkan identitas-identitas primordial saja.

“Mengutamakan identitas primordial tanpa ada kompetisi yang lebih rasional dan menyangkut hal-hal visioner. Politik identitas ini mengedepankan identitas kelompok-kelompok primer. Ini berbahaya bagi integritas masyarakat secara keseluruhan. Karena itu akan mendorong perpecahan di dalam masyarakat,” tuturnya.

Oleh sebab itu, dia menegaskan kepada seluruh kadernya untuk tak menyeret identitas Islam atau Nahdlatul Ulama (NU) dalam kontestasi Pemilu 2024.

“Saya sering katakan, kita tidak mau ada politik berdasarkan identitas Islam bahkan tidak mau ada politik berdasarkan identitas NU. Kami tidak mau ada kompetitor kampanye pilih orang NU misalnya kita enggak mau itu,” kata dia.

Di sisi lain, Haedar Nashir mengatakan politik identitas yang mengarah kepada suku, agama, ras, dan antar golongan berpotensi membawa polarisasi. Menurutnya, polarisasi tersebut bukan hanya terjadi di tengah masyarakat secara inklusif, melainkan bisa terjadi di dalam komunitas antargolongan.

“Bahkan di tubuh setiap komunitas golongan itu bisa terjadi fiksi. Jadi, kita semua clear ingin Pemilu 2024 mengedepankan politik yang objektif, rasional, dan ada di dalam koridor demokrasi modern,” ucapnya.

Editor: PARNA

Sumber: cnnindonesia.com