Timbulan sampah di lingkungan sekolah adalah sebuah keniscayaan. Karena tidak ada satu pun sekolah yang beroperasi yang tidak menghasilkan sampah.

Kegiatan belajar mengajar juga menghasilkan sampah. Lewat tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa pada selembar kertas ukuran kecil atau ukuran lain yang lebih lebar, setelah diperiksa, maka kertas akan menjadi sampah.

Kegiatan lain yang berpotensi menghasilkan sampah adalah berjajan. Hampir semua jajanan yang dikonsumsi siswa mempunyai kemasan alias bungkus makanan, sehingga ketika jajanan tersebut selesai dicicipi, bungkusnya adalah sampah.

Sebagian sekolah memperhatikan makanan jajanan baik dari segi jenis, bahan, dan penyajiannya, tetapi tidak semua melakukan itu sehingga lingkungan sekolah menjadi korban. Tak ada yang salah dengan siswa mengerjakan tugas menggunakan bahan pengajaran pada setiap pelajaran.

Tidak bijak juga melarang siswa berjajan di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, perlu dipahami warga sekolah bahwa timbulan sampah di lingkungan sekolah harus dikelola dengan baik.

Timbulan sampah yang bertambah jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi masalah dan mengakibatkan dampak negatif, diantaranya penyebaran penyakit dan menganggu kegiatan belajar.

Kegiatan belajar mengajar di sekolah harus berjalan tanpa mengorbankan lingkungan. Sampah sebagai keniscayaan bagi kehidupan sekolah maka dipastikan juga ada manfaatnya.

Keberadaan sampah harus menjadi inspirasi untuk membentuk kesadaran menjaga dan melindungi lingkungan. Penanaman kesadaran menjaga lingkungan melalui pendidikan, diharapkan dapat menjadi sarana sosialisasi dan pemahaman pada warga sekitar tentang lingkungan dan sampah.

Kesadaran inilah yang disebut Frijot Capra sebagai ecoliteracy. Kata “ecoliteracy” merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu ecological dan literacy.

Istilah ecoliteracy pertama kali digunakan oleh Fritjof Capra pada tahun 1990 untuk mengenalkan pola hidup ramah terhadap lingkungan sekitar melalui praktik pendidikan nilai.

Nilai-nilai yang diberikan adalah nilai tanggung jawab dan cinta pada bumi. Untuk mengembangkan masyarakat yang sadar lingkungan, sekolah memiliki peran untuk meningkatkan ecoliteracy ini.

Sekolah berperan bukan hanya sebagai tempat belajar tetapi juga memiliki peran penting untuk membantu siswa dalam memahami akibat perilaku manusia di bumi dan menjadi tempat untuk hidup secara berkelanjutan (Ozsoy, Erteprinar & Saglam, 2012).

Dalam hal ini sekolah berperan untuk memberikan sosialisasi kepada warga masyarakatnya melalui pendidikan berbasis lingkungan serta bagimana cara mengelola dan memanfaatkan sampah dengan baik.

Salah satunya adalah pemanfaatan sampah sebagai media pembelajaran berbasis ecoliteracy pada mata pelajaran IPA.

Sebagai contoh mengolah sampah yang berasal dari guguran daun pohon, guru IPA memanfaatkan dedaunan kering, dengan membuat herbarium kering, yakni daun tumbuhan yang diawetkan.

Hasil awetan daun kering dalam bentuk herbarium kering ini dapat digunakan untuk mempelajari jenis daun berdasarkan bentuk tulang daun. Daun-daun yang lain bias diolah menjadi kompos. Prosesnya mudah dan sederhana.

Sampah daun dimasukkan ke dalam lubang biopori agar dapat menjadi kompos. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk memupuk tanaman yang ada di sekolah atau bahan campuran media tanam dalam pot.

Masih banyak materi yang berkaitan dengan sampah di lingkungan sekolah, Guru IPA dan siswa dapat memanfaatkan sampah di sekolah. Pemanfaatan sampah sebagai media pembelajaran, diharapkan mampu meningkatkan peran siswa untuk terlibat dalam peningkatan kesadaran ekologi sejak di bangku sekolah.

Karena melalui media pembelajaran, siswa akan dilibatkan pada pengalaman yang melibatkan pikiran, emosi yang terjalin dalam kegiatan yang menyenangkan dan mendorong prakarsa siswa (Adinugraha, 2017:221).

Penanaman keadaran lingkungan di komunitas pendidikan ini, juga diharapkan mampu menumbuhkan kecerdasan ekologi siswa sejak di bangku sekolah sehingga ketika mereka terjun di kehidupan masyarakat mereka dapat mengaplikasikannnya dalam kehidupan sehari-hari. ***

Penulis adalah guru IPA di SMP Negeri 1 Pinggir yang juga sekaligus ketua bidang peningkatan sumber daya manusia (pendidikan dan pelatihan) Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (PERBANUSA) Provinsi Riau.