Sejak digaungkannya revolusi industri 4.0 tahun 2005 yang lalu, hampir semua aspek kehidupan manusia berubah. Pekerjaan yang awalnya dilakukan menggunakan teknologi mesin, berubah dengan melibatkan teknologi digital. Itulah sebabnya banyak bermunculan istilah yang menyisipkan huruf ‘e’ di depan suatu kata. Artinya, kata-kata tadi sudah berbau elektronik. Sebut saja e-mail, e-learning, e-sport, e-government, dan tentu saja the special one: e-KTP.
Ngomong-ngomong tentang e-KTP, atau yang sekarang dikenal dengan sebutan KTP Elektronik (dan saya masih belum paham dimana letak perbedaannya) adalah salah satu program pemerintah paling canggih. Sejak program ini digulirkan tahun 2009 yang lalu, KTP Elektronik ini digadang-gadang akan menjadi media yang mampu mengubah tatanan pencatatan administrasi kependudukan. Semuanya serba digital dan terekam dalam suatu database. Tinggal klak-klik lalu enter, beres semua urusan.
Kinyitiinnyi, sudah lebih dari satu dasawarsa, keelektronikan KTP Elektronik ini ternyata hanya tempelan saja. Sebab, di setiap urusan yang membutuhkan identitas diri semisal daftar CPNS, daftar vaksin, lapor RT/RW, atau bikin rekening bank, masih saja diminta fotokopi KTP Elektronik.
Kondisi seperti ini tentunya membuat geram para netizen julid. Mereka berkoar-koar di dunia maya. Katanya KTP Elektronik, kok difotokopi? Kenapa enggak menggunakan database administrasi kependudukan yang sudah terekam ketika KTP Elektronik ini dibuat? Jadi, semuanya serba digital dan modern.
Sepertinya, para netizen julid itu perlu meluangkan waktu untuk merenung dan berpikir jernih. Kalau perlu, ikut training ESQ 165 sekalian biar pikirannya bisa tercerahkan. Begini, ya. Menurut pemikiran saya, fotokopi KTP Elektronik akan terus diminta di berbagai urusan, bahkan hingga akhir zaman. Ini dia beberapa alasannya.
Pemerintah masih didominasi oleh Generasi Baby Boomers
Perlu diakui bahwa generasi baby boomers ini masih mendominasi struktur pemerintahan, khususnya di level pengambil keputusan. Generasi ini, kan, identik dengan pemikiran yang kolot dan tradisional. Misalnya, kalau kerja, ya, harus ke kantor. Meski kamu punya toko online dengan omzet miliaran rupiah, selama enggak berangkat ke kantor pagi-pagi, yaaa tetap saja dianggap pengangguran.
Sama halnya dengan nasib KTP Elektronik. Selama masih bisa difotokopi, maka itu dijadikan syarat untuk digabungkan dengan berkas hardcopy lainnya. Pokoknya, syarat KTP Elektronik harus kelihatan wujudnya. Titik.
Data kependudukan yang nggak up-to-date
Ini sebetulnya masalah serius dalam administrasi kependudukan. Di level instansi pemerintah, Ditjen Dukcapil Kemendagri dan Badan Pusat Statistik punya data penduduk yang berbeda. Selain itu, bukan hal yang aneh kalau satu orang punya lebih dari satu KTP Elektronik. Belum lagi orang yang meninggal nggak diurus surat kematiannya.
Kondisi seperti ini membuat database kependudukan seperti kacau balau. Nah, daripada pakai database yang meragukan ini, kan, mending pakai cara yang praktis: fotokopi KTP Elektronik. Tinggal fotokopi, staples, bungkus!
Akses internet belum merata di semua wilayah
Wilayah Indonesia ini luas, karakter geografisnya pun beragam. Ada wilayah yang bisa diakses oleh internet, ada juga yang enggak bisa sama sekali. Misalnya, di wilayah perkotaan pastinya gampang untuk akses internet, sedangkan di wilayah terpencil, jangankan akses internet, listrik saja masih megap-megap.
Bisa dibayangkan, kan, kalau masyarakat di wilayah terpencil mau ngurus-ngurus sesuatu yang syaratnya pakai identitas diri? Pastinya KTP Elektroniknya difotokopi, lah. Memangnya mau cek database kependudukan di mana? Di pinggiran hutan bakau? Ya, ndak bisa, lah.
Fotokopi KTP Elektronik adalah sebuah tradisi
Enggak bisa dimungkiri bahwa tradisi fotokopi KTP Elektronik adalah budaya yang sudah mengakar kuat di benak masyarakat Indonesia ini. Ini sangat sulit dihilangkan. Bahkan, hal-hal yang sudah berbau digital dengan sistem barcode-pun sepertinya nggak afdal kalau nggak difotokopi.
Buktinya, sertifikat vaksin di aplikasi Peduli-Lindungi yang jelas-jelas digital dan tinggal scan barcode saja sampai terpikirkan untuk dibuat kartu vaksinnya. Dan, ujung-ujungnya nanti ada fotokopi kartu vaksin. Hadeh.
Nah, itulah alasan-alasan kenapa fotokopi KTP Elektronik masih sangat dibutuhkan dalam berbagai keperluan. Jadi, jangan mengedepankan nyinyir, ya. Sekali-sekali positive thinking, lah, sama pemerintah. Kasihan mereka itu.
Editor : ARON
Sumber : kumparan