Para peneliti menemukan sebuah parasit malaria yang kebal obat di Uganda.

Mereka menyatakan dibutuhkan penanganan lebih lanjut agar penyebaran penyakit malaria tidak meluas.

Seperti dilansir Associated Press, para peneliti Uganda menemukan parasit itu setelah menganalisis sampel darah dari pasien malaria yang mengkonsumsi obat anti-malaria, artemisinin.

Artemisinin merupakan salah satu obat malaria yang dipakai warga di Afrika untuk pengobatan malaria yang dikombinasikan dengan obat lain.

Dalam penelitian pada 2019 ditemukan hampir 20 persen sampel memiliki mutasi genetik yang menunjukkan pengobatan dengan artemisinin tidak efektif. Sehingga pasien yang terinfeksi parasit malaria akan sembuh dalam waktu lebih lama.

Parasit malaria yang kebal obat sebelumnya juga terdeteksi di Asia. Para peneliti pun sempat khawatir kasus serupa dapat terjadi di Afrika yang diketahui menjadi penyumbang terbesar kasus malaria di dunia.

Selain di Uganda, beberapa jenis parasit malaria yang resisten terhadap obat sebelumnya juga ditemukan di Rwanda.

“Temuan kami menunjukkan potensi risiko penyebaran lintas batas di seluruh Afrika,” tulis para peneliti di New England Journal of Medicine pada Rabu (22/9).

Para peneliti mengatakan parasit malaria yang kebal terhadap obat di Uganda bukan didatangkan dari tempat lain. Temuan itu didapat setelah mereka memeriksa 240 sampel darah pasien malaria selama tiga tahun.

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk. Penyakit ini membunuh lebih dari 400 ribu orang setiap tahun, yang kebanyakan adalah anak-anak di bawah 5 tahun dan wanita hamil.

Pakar kedokteran di University of California, San Francisco, Amerika Serikat, Dr. Philip Rosenthal, mengatakan temuan di Uganda dan di Rwanda membuktikan parasit malaria di Afrika kini kebal obat.

Rosenthal, yang tidak terlibat dalam studi baru, mengatakan kemungkinan akan muncul parasit malaria yang kebal obat di tempat lain di benua itu.

Dia pun mencontohkan temuan parasit malaria yang resisten terhadap di Kamboja yang sekarang menyebar ke seluruh Asia. Dia memprediksi hal yang sama akan terjadi di Afrika, tetapi dengan konsekuensi yang lebih mematikan mengingat benua itu menjadi tempat subur berkembangnya penyakit malaria.

Nicholas White, seorang profesor kedokteran tropis di Universitas Mahidol di Bangkok, Thailand, juga menegaskan munculnya parasit malaria terhadap obat-obatan.

“Kami pada dasarnya mengandalkan satu obat untuk malaria dan sekarang sudah tertatih-tatih,” kata White.

Ia pun menyarankan bahwa perlu ada pendekatan baru untuk menangani kasus ini. Jika sebelumnya dokter hanya menggunakan obat artemisinin yang dikombinasikan dengan obat lain. Kini mulai harus dilakukan pengobatan menggunakan tiga obat seperti yang sering dilakukan dalam mengobati tuberkulosis dan HIV.

Selain itu, White juga melihat peran pejabat kesehatan masyarakat juga perlu mengambil sikap untuk membendung penyebaran parasit malaria yang resisten terhadap obat, salah satunya dengan meningkatkan pengawasan dan mendukung penelitian obat baru.

Editor: NUL

Sumber: cnnindonesia