Media sosial akhir-akhir ini ramai dengan istilah cancel culture. Cancel culture kerap digaungkan terhadap sejumlah tokoh publik maupun label atau produk tertentu. Misalnya yang terbaru, aktor Johnny Depp merasa menjadi korban cancel culture.

Sebelumnya, produser Harvey Weintein di-cancel publik buntut kasus pelecehan seksual yang dilakukannya. Penulis JK Rowling juga pernah di-cancel karena berkomentar terkait transphobia. Di Indonesia, atlet esports Listy Chan juga pernah tersandung cancel culture sehingga membuatnya kehilangan kontrak pekerjaan.

Cancel culture umumnya dilakukan untuk menghilangkan pengaruh seseorang karena perilaku, karya atau perkataannya yang dianggap tak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Biasanya, cancel culture diberikan kepada publik figur yang terlibat skandal, memiliki lirik lagu yang dianggap tak sesuai dengan budaya, dianggap menyakiti negaranya sendiri, mengeluarkan pernyataan kontroversial atau sekadar tak disukai masyarakat.

Apa itu cancel culture?

Psikolog sekaligus tenaga pendidik di Universitas Gadjah Mada, Koentjoro mengatakan cancel culture sama dengan boikot. Publik figur atau orang yang memiliki pengaruh bisa tiba-tiba di-cancel atau ditolak karena dianggap tak lagi sejalan dengan keinginan masyarakat. Cancel culture biasanya digaungkan melalui media sosial, twitter atau dengan mengajukan petisi.

“Contohnya banyak, mereka yang di-cancel ini ya karena tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang menyakiti masyarakat, melakukan kejahatan, atau ya hal-hal seperti itu,” kata Koentjoro saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (23/9).

Melansir dari The Private Theraphy Clinic, cancel culture merupakan evolusi dari istilah boikot yang telah dikenal masyarakat sejak lama. Budaya cancel culture ini disebut muncul pertama kali pada 2017 lalu saat kasus pelecehan seksual Harvei Weinstein terungkap.

Mulanya cancel culture keluar ketika banyak pelaku pelecehan seksual dari kalangan publik figur diketahui masyarakat. Mereka yang terlibat skandal ini ramai-ramai ditolak masyarakat. Mereka dilarang untuk tampil lagi di hadapan publik, bahkan karya-karya lama mereka pun ditolak masyarakat.

Efek dari cancel culture dapat beragam. Misalnya, publik tak terima tokoh tersebut ada di televisi, pembatalan iklan, hingga pembatalan kontrak kerja.

Cancel Culture dapat berkembang jadi budaya yang toksik. (iStockphoto/wildpixel)

Meski terlihat hanya me-cancel mereka yang terlibat masalah, budaya ini ternyata dinilai bisa jadi sangat beracun atau toksik.

Menurut Koentjoro, budaya ini dapat berkembang menjadi perilaku main hakim sendiri yang dilakukan orang dengan cara berkelompok di media sosial. Bullying di media sosial ini dapat merusak mental seseorang.

Koentjoro mengatakan orang yang di-cancel dapat merasa diri tidak berguna, down, bahkan paling fatal bisa bunuh diri.

“Bagaimana tidak, cancel culture ini biasanya diikuti dengan ujaran yang tidak baik di media sosial, menghina kepada pihak yang di-cancel. Bayangkan mental orang tersebut bagaimana setelah mendapat cacian dari banyak orang di media sosial,” kata dia.

Tak hanya itu, cancel culture semakin terasa menyesakan karena jejak digital biasanya tak mudah dilupakan seseorang. Menurut Koentjoro, cancel culture dapat merusak kebebasan berbicara.

“Kritik memang bagus, tapi kalau sampai berakhir memboikot atau cancel cukture begini kan sama saja dengan mengekang kebebasan berbicara,” kata dia.

Editor: NUL

Sumber: cnnindonesia