Tren penurunan kasus konfirmasi COVID-19 yang telah terjadi di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir ini diikuti dengan sejumlah kebijakan pelonggaran kegiatan masyarakat, salah satunya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah.

Walau kasus memang telah membaik, epidemiolog dari Unair, Windhu Purnomo, mengingatkan bahwa bukan berarti virus di daerah yang telah menerapkan PTM tersebut telah sepenuhnya bebas dari ancaman virus corona.

“Kita tahu di daerah yang PTM-nya sudah diaktifkan itu tidak sepenuhnya tidak ada virus di luaran. Dan kita memang harus akui, lho, ya, memang ada tren penurunan kasus dan kita makin membaik,” kata Windhu.

Untuk itu, ia meminta agar masyarakat khususnya siswa dan guru di sekolah agar tetap berhati-hati terhadap ancaman penularan. Sebab, sampai saat ini tracing dan testing di Indonesia masih dikatakan lemah.

“Jadi kita harus bersyukur tapi harus hati-hati. Pertama apa, sampai hari ini surveillance epidemiologi kita ini belum bagus. Artinya apa, kasus-kasus yang positif belum semua terdeteksi. Karena testing tracing kita sampai hari ini meski sudah membaik, tetapi masih lemah,” ungkapnya.

Prokes Harus Diawasi Ketat
Muncul klaster sekolah dan kampus usai pemerintah membuka opsi pembelajaran tatap muka (PTM) di wilayah yang tak menerapkan PPKM Level 4.

Terkait hal ini, anggota Komisi Kesehatan (IX) DPR, Rahmad Handoyo, mengatakan pembukaan sekolah sudah menjadi perhatian WHO karena itu pengawasan harus diperketat.
“Saya kira ini kan menjadi perhatian WHO klaster sekolah itu bisa kemungkinan muncul potensi terjadi klaster yang meluas. Untuk itu kita berharap agar masing-masing daerah yang melakukan izin dibolehkannya sekolah tatap muka, harus menggunakan tatap muka yang harus hati-hati dan waspada,” kata Rahmad,

“Harus ada fungsi pengawasan yang sangat ketat namanya sekolah ya, anak-anak ya. Apalagi di Padang, Kalbar, munculnya klaster itu juga harus jadi perhatian bersama,” imbuhnya.
Rahmad mengatakan pembelajaran tatap muka bisa dilanjutkan dengan prokes yang ketat. Ia meminta setiap sekolah membatasi jumlah kehadiran siswa 25 persen dari kapasitas ruangan.

“Meskipun juga tidak ada yang bisa jamin keamanan terbebas dari COVID-19, tapi paling tidak langkah-langkah prokes itu harus menjadi perhatian bersama. Salah satunya adalah membatasi ruang kelas entah itu 25 persen dari kapasitas,” ujarnya.
Selain itu, politikus PDIP itu menyebut, lebih baik siswa masuk bergantian setiap harinya. Lalu, Rahmad menambahkan pembelajaran dapat dilanjutkan melalui mekanisme yang ditentukan.
“Jadi enggak boleh disepelekan karena ini sudah jadi peringatan dari WHO dan sudah munculnya beberapa klaster, yang penting fungsi kontrol dan pengawasan baik dari guru, kemudian di saat istirahat ketika berbaur, itu juga siswa harus lebih hati-hati benar-benar harus dengan prokes,” tutup dia.
Sebelumnya, berdasarkan laporan mingguan WHO yang dirilis pada 15 September lalu terdapat klaster sekolah dan kampus yang ditemukan. 54 siswa dari SMA 1 Padang Panjang, Sumatera Barat, positif COVID-19.

Kata Ahli Wabah soal Klaster Sekolah
Menurut epidemiolog atau ahli wabah dari Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo, terjadinya klaster bisa disebabkan karena adanya perilaku tidak disiplin yang salah satunya dilakukan oleh para siswa. Jika seharusnya mobilitas siswa hanya dibatasi oleh rumah dan sekolah, maka itu bisa aman. Hanya saja banyak ditemukan siswa yang justru menghabiskan waktu di luar rumah dan sekolah.

“Kemarin saya mendengar ada sahabat saya mengatakan itu banyak anak-anak berseragam berkeliaran di tempat-tempat umum nongkrong. Itu berarti di luar bubble. Bubble yang aman itu rumah, sekolah. Kalau selama dia enggak keluar bubble ini aman, aman bagi anak dan yang di rumah maupun yang di sekolah. Tapi begitu keluar bubble mereka nongkrongnya buyar, dong,” kata Windhu kepada kumparan, Senin (20/9).
Setiap sekolah yang menerapkan PTM sebelumnya telah melalui sejumlah asesmen atau penilaian terkait kelayakan membuka kembali sekolah tersebut. Namun seperti yang ia sampaikan, ketertiban protokol kesehatan di sekolah bisa saya menjadi sia-sia lantaran siswa yang tak disiplin.

“Itu yang harus diawasi. Jadi kalau ada sekolah yang muridnya ketahuan ada di luar bubble tadi, yang tidak langsung pulang, itu harus ditutup sekolah itu sementara. Artinya kita tidak hanya melihat sekolah, kalau sekolah kita yakinlah sudah ada asesmen sebelumnya bahwa kalau enggak lulus enggak bisa buka. Sekolah saya percaya,” tambah Windhu.

Kegiatan di luar rumah dan sekolah yang dilakukan oleh siswa maupun warga sekolah lainnnya ini bisa jadi hal yang mengkhawatirkan. Risiko munculnya klaster bisa saja tak dapat dihindari. Untuk itu, Windhu menyarankan agar apabila PTM masih ingin terus dilakukan, maka seluruh pihak termasuk guru dan siswa harus benar-benar dipantau kesehatannya.

“Saya percaya rumah, oke, tapi yang mengkhawatirkan itu yang di luar rumah tadi. Selama masih bubble to bubble, oke. Itu yang harus dijaga. Selama itu dijaga baik, monitoring terus menerus tiap hari, monitoring kesehatan siswa, guru,” pungkasnya.

editor : will
sumber : kumparan