Perbuatan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar tidak hanya sekadar melanggar etik. Perbuatannya bahkan tergolong pelanggaran berat.
Dewas KPK menyatakan ada dua perbuatan Lili Pintauli Siregar yang terbukti melanggar etik. Yakni menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi serta berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Untuk perkara yang pertama, Lili Pintauli mengetahui bahwa adik iparnya yang bernama Ruri Prihatini Lubis yang juga eks Dirut PDAM Tanjung Kualo, Tanjungbalai, sedang bermasalah. Uang jasa pengabdian Ruri belum dibayarkan PDAM.
Lili pun sempat menyarankan Ruri menyurati Direktur PDAM Tirta Kualo dengan menembuskannya ke KPK. Dewas KPK menilai tindakan Lili Pintauli itu berlebihan.
“Masalah belum dibayarkan uang jasa pengabdian tersebut adalah urusan keperdataan seseorang dengan perusahaan daerah. Tidak ada kaitannya dengan tugas dan kewenangan KPK. Baik dari sisi kegiatan pencegahan maupun penindakan,” kata anggota Dewas KPK Albertina Ho dalam pembacaan vonis, Senin (30/8).
Ia pun turut menyampaikan masalah itu kepada Syahrial selaku Wali Kota Tanjungbalai. Syahrial pun berjanji akan mengecek kepada Direktur PDAM yang sedang menjabat. Lili Pintauli pun meminta tolong agar hak adik iparnya itu dibayarkan. Lili pun memberikan nomor ponselnya kepada Syahrial.
Belakangan, uang jasa pengabdian Ruri pun cair dengan dicicil yang totalnya Rp 53,3 juta sebelumnya tersendat 8 bulan.
Dewas KPK menilai bahwa meski permasalahan terkait Ruri, tetapi hal itu tergolong untuk kepentingan pribadi Lili Pintauli.
Untuk perkara yang kedua, Lili Pintauli berkomunikasi dengan Syahrial. Padahal, Syahrial adalah orang yang berperkara di KPK. Isi komunikasi pun membahas soal perkara.
Syahrial merupakan tersangka kasus suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai. Lili Pintauli mengetahui adanya kasus Syahrial di KPK.
“Pada sekitar bulan Juli 2020, Terperiksa menghubungi saksi M. Syahrial pada saat Terperiksa melihat berkas jual beli jabatan atas nama saksi M. Syahrial di atas mejanya dengan mengatakan “ini ada namamu di mejaku, bikin malu Rp 200 juta masih kau ambil,”” kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris.
Pada bulan Oktober 2020, Syahrial kembali menghubungi Lili Pintauli untuk menanyakan informasi adanya penyidik KPK yang sedang menggeledah di Labuhanbatu Utara. Syahrial meminta bantuan Lili Pintauli mengenai perkaranya.
Syahrial pernah diperiksa penyelidik KPK pada November 2019. Ketika itu, Lili Pintauli belum menjadi pimpinan KPK.
Namun, tiga pimpinan KPK menyatakan bahwa pada tahun 2020, tidak pernah ada catatan atau berkas terkait kasus jual beli jabatan yang menyangkut Syahrial.
Lili Pintauli tidak menjelaskan bagaimana dia bisa mendapatkan catatan soal perkara itu.
Syahrial baru dijerat sebagai tersangka pada April 2021. Namun, komunikasi dengan Lili dengan jelas menyatakan bahwa yang dibahas ialah terkait perkara.
Terlebih, Lili Pintauli kemudian memberikan nomor pengacara kepada Syahrial.
“Hubungan komunikasi antara Terperiksa dan saksi M. Syahrial sebagai seseorang yang perkaranya sedang ditangani KPK cukup intens dan ada upaya Terperiksa membantu saksi M. Syahrial mengatasi perkara,” kata anggota Dewas KPK Albertina Ho.
Atas perbuatan tersebut, Lili Pintauli terbukti melanggar prinsip Integritas yaitu pada Pasal 4 ayat (2) huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Yakni, setiap Insan Komisi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui perkaranya sedang ditangani oleh Komisi kecuali dalam rangka pelaksanaan tugas dan sepengetahuan Pimpinan atau atasan langsung;
b. menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai Insan Komisi baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan pribadi;
Editor : Aron
Sumber : kumparan